Dengan siku menyangga pada pagar jembatan, mataku berpendar mengamati perahu-perahu kecil warna-warni yang berlalu lalang di bawah kami membawa maskot lucu di atasnya. Melambai pada batita yang berdiri antusias di sampingku, perut gembungnya nampak lucu dengan mata besar dan gestur yang menggemaskan.
Hiroshi masih sibuk memotret selebgram yang kini berpose dengan bandana kuping kelinci di kepala. Tahu begini, aku tidak akan meninggalkan tas perlengkapanku di kantor.
Semenjak mendapatkan tugas untuk mencari projek mandiri, kami tidak perlu lagi datang ke studio setiap hari. Yuriko-san memberikan kami kebebasan untuk berkeliling mencari referensi, atau klien jika beruntung, yang bisa kami gunakan untuk projek masing-masing.
Hiroshi, dengan otak oportunisnya, dengan cepat memanfaatkan kesempatan untuk mencari uang saku tambahan. Seperti saat ini, menawarkan bakat fotografinya sebagai pekerjaan sampingan untuk mengekspos wajah-wajah baru di dunia maya.
Selesai dengan jepretan terakhirnya, Hiroshi berjalan menghampiriku. Meninggalkan gadis ramping yang melambaikan tangan di belakangnya, tersenyum padaku dengan mata menyipit. Kubalas dengan senyum kecil sebelum sosoknya menghilang di antara kerumunan. Standard kecantikan di Jepang haruskah sekejam ini? Mengenakan rok pendek di cuaca dingin, kuharap pahanya tidak membeku. Kasihan juga kalau dipikir-pikir.
"Bagaimana, lumayan, kan?" lempar Hiroshi padaku, menyelempangkan kameranya ke depan. Memangnya dia minta apa? Puk-puk di kepala? Aku hanya mendengus menanggapi cengiran lebarnya.
Setelah insiden tadi, ia bahkan masih bisa nyengir kuda seperti ini.
"Ini, nanti kupinjam lagi." Ia mengulurkan kartu memori dengan satu tangan, menutup resleting tas kamera DSLR miliknya dengan tangan yang lain. Dengan susah payah. Berakhir gagal dan perlu menarik tangannya yang terulur untuk membantu menarik kepala resleting. Baru setelahnya ia mengulurkan memori itu kembali padaku.
"Kau yakin memori yang tadi tidak ada isinya?" ujarku membahas kartu memori yang tidak sengaja ia jatuhkan ke sungai saat hendak memasangnya di atas jembatan. Tanpa melepas sarung tangan.
Aku tidak punya adik kandung. Tapi jika punya, mungkin rasanya akan seperti Hiroshi. Baik, polos, dan merepotkan.
"Yakin. Aku tadi ambil memori yang baru." Ujarnya ringan. Sialan juga bocah ini. Entah bagaimana Yuriko-san akan memarahinya jika tahu salah satu pegawai magangnya menghilangkan inventaris yang baru saja ia beli.
Begitu memori terpasang, kujajal kamera yang sedari tadi tersampir di pundakku untuk membidik replika gunung api yang berada di tengah taman bermain. Menyesuaikan ISO dan Shutter Speed sedikit, kemudian kembali membidik objek yang sama. Ikon utama wahana yang kami kunjungi tampak dengan jelas dari atas jembatan. Mungkin karena itu juga Hiroshi memilih tempat ini sebagai spot foto.
Sebelumnya, ia juga sempat menggunakan beberapa spot lainnya. Termasuk ketujuh port yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Tak ingin kepayahan mengikutinya kesana-kemari, aku memilih menunggunya di spot pertama yang kami tempati. Jembatan penghubung Mediterranean Harbor dengan Mysterious Island, tempat replika gunung api itu berdiri.
Aku mendengus menyadari cahaya matahari yang kian surut. Aku bahkan tidak lagi melihat wujudnya, tertutup replika-replika raksasa. Dengan penerangan yang mulai menyala, nampaknya aku harus menyesuaikan pengaturan kameraku lagi. Padahal, tadinya aku ingin memotret gunung api yang tampak gagah di bawah cahaya matahari. Sudahlah.
Melihatku yang nampak kesal, Hiroshi bertanya dengan ragu-ragu.
"Kau... sedang itu, ya?" aku mendengus lagi. Kali ini, dengan sudut bibir yang berkedut ke atas. Menanyakan menstruasi saja kenapa harus secanggung ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hana ga Saku Toki [When the Flowers Bloom]
RomantizmMenjadi fotografer andal adalah impiannya, tapi menjalin kerjasama dengan band metal dan menyelami dunia kelam industri rock Jepang sama sekali tidak ada dalam daftar keinginannya. Alina Citra, terbang ke Jepang untuk menjalani magangnya sebagai mah...