Sebelas

661 120 37
                                    

Bagi Charis, akan sangat mudah mengingat sosok Wanda. Gadis mudah yang ceria dan selalu terlihat bodoh di depannya. Dia mirip hari yang cerah sejak pagi. Dan akan bersemu di ujung senja. Untuk sementara waktu Charis sangat bersyukur pernah mengenal Wanda dengan baik.

Dia masih ingat, Wanda yang merupakan adik kelas yang tidak terlalu mencolok di sekolah dasar. Tapi, kakak kelasnya selalu terlihat menyukai Wanda. Karena gadis itu yang sangat cantik. Sebut saja kakak kelas dua tahun di atasnya. Atau setahun di atasnya?

Yang jelas, Charis meyakini bahwa ada sosok yang akan menyukai Wanda di setiap angkatan. Dan sebut saja dirinya untuk angkatannya.

Wanda tidak akan mengenalnya. Dia hanya si tukang pembawa naskah pancasila yang selalu beridiri di balik pembina upacara. Wanda tidak akan mengenalnya karena dia tidak jauh lebih pintar dibandingkan Alwan di kelasnya.

Wanda tidak akan mengenal laki-laki yang biasa saja sepertinya.

Tapi, suatu hari, setelah dua tahun lulus sekolah dasar. Saat dia dinobatkan sebagai salah satu siswa yang masuk ke sekolah unggulan. Dia mendapatkan telepon misterius di rumahnya. Seorang gadis dengan suara lembutnya mengatakan.

"Ini, Charis ya, saya Wanda. Dapat telepon kamu dari Teya," sampai sana saja yang Charis ingat.

Dulu, saat belum ada telepon genggam, perkenalan demi perkenalan memang dilakukan melalui telepon bagi yang memilikinya. Kemudian berlanjut pada surat yang dikirim jauh-jauh hari. Mengingat itu Charis tidak pernah menyangka bahwa sekarang mengirim pesan bisa menjadi sangat cepat. Lebih cepat daripada satu tarikan napas.

Mendengar nama Teya. Charis masih berkomunikasi dengannya hingga saat ini. perempuan dengan dua anak yang dewasa dan memilih tinggal di pesantren milik keluarga untuk diurusi. Bekti menikahinya usai mendapatkan mandat sebagai wali kelas di sana.

Itu terjadi puluhan tahun lalu. Digta, sudah dewasa sekarang. Sudah mengikuti jejak Bekti. Begitu juga Sarah yang kini memilih meneruskan pendidikannya ke Mesir. Waktu terus berjalan. Tidak dia ketahui begitu cepat. Hingga dia melupakan janji penting yang saat ini masih diingat oleh Wanda.

Pagi ini, ketika dirinya baru saja menyelesaikan solat subuh, sepupunya menghubungi melalui saluran telepon. Membicarakan lagi tentang masa lalunya. Masa lalu yang membuatnya bimbang.

"Gimana sehat Ris? Rossa dan anak-anak?"

Charis mengulum senyum sambil melihat tubuh istrinya dari belakang yang sedang mencuci piring. Suara musik terdengar dari speaker yang diletakkan di dalam rak gantung. Lagu yang belakangan sering kali didengarkan oleh si bungsu.

"Baik Bek, Teya gimana? Sehat semua? Sekolah juga aman kan?" tanya Charis saat selesai menjawab pertanyaan Bekti.

"Alhamdulillah semua baik. Tapi bukan itu sih yang mau saya omongin ke kamu."

Charis menautkan alisnya, kemudian tersenyum saat Rossa menoleh ke arahnya, mengecilkan volume suara dari speaker tersebut. Memberikan ruang terhadap Charis yang mungkin sedang berbicara dengan orang lain.

"Siapa?" tanya Rossa duduk di sebelah Charis dengan suara bisikan.

Charis menjauhkan ponselnya, "Bekti," katanya lalu menekan tombol spekaer di layar ponselnya. Membiarkan Rossa ikut memerhatikan layar ponsel dengan seksama.

"Terus mau ngomong apa? Kayaknya serius banget?"

Bekti tertawa kecil. Lalu diam sejenak, menarik napas. Karena dia akan menyampaikan informasi yang mungkin tidak penting bagi Charis namun akan sangat penting bagi orang lain.

"Masih ingat Wanda?"

Baik Charis dan Rossa yang sebelumnya tersenyum, berubah menjadi sulit diartikan. Wanda. Nama itu akan selalu melekat seperti inang pada pohon yang tidak dibersihkan. Maka itu, Rossa tahu, siapa Wanda. Terutama Charis yang kadang, masih sering mengingatnya sepintas. Perempuan muda yang penuh cerita dan gairah.

To Charis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang