Dua Puluh Satu

662 102 12
                                    

Apapun alasan yang disembunyikan Ayah dan Ibunya mengenai kedatangan Giselle tidak mengubah fakta bahwa ada sebagian hatinya yang merasa bahagia. Teman-temannya akan iri jika tahu kalau dia sedang berada dengan idola anak muda seusianya. Lagu-lagu yang kerap mereka dengan dinyanyikan oleh orang yang ternyata dikenal Ayahnya.

Sekarang mereka berdua sedang berapa di sebuah kafe di dekat rumah. Orang-orang meliriknya dan Giselle. Tentu saja mereka bukan mentap ke arahnya. Melainkan orang yang kini memintanya memesankan segelas amerikano dan duduk di sudut ruangan sambil memainkan ponselnya. Memainkan atau berusaha meghubungi seseorang.

"Teh, nggak risih diliatin sama orang-orang? Itu kayaknya banyak deh yang sadar teteh di sini," sejujurnya, jika Nina berada di posisi Giselle maka dia akan memilih mencari tempat yang lebih sepi agar mereka bisa mendapatkan ruang privasi yang mereka butuhkan. Karena Nina merasa perjalanan Giselle ke tempat ini bukan kebutuhan pekerjaan.

Ada masalah serius yang saat ini juga Nina pertanyakan. Dia tidak mungkin bertanya kepada sang Ayah. Dia tidak terbiasa mencampuri urusan orang tuanya. Sebagai gantinya dia mungkin akan sabar menangani kelabilan Giselle untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun mungkin setelah ini dia akan disidang oleh Ayahnya. Karena sudah ikut campur.

Giselle tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh Nina. Sebaliknya dia fokus untuk melihatlayar ponselnya dan mencari sesuatu yang sekiranya dia butuhkan pada saat bermalam satu hari di Bandung. Penginapan misalnya. Dia tidak akan merasa nyaman untuk lebih lama tinggal di rumah Charis. Lebih baik dia mencari reddors atau airy untuk istirahat di sana.

"Kalau Rumah Melati dari sini deket nggak sih?" dibandingkan dengan menjawab apa yang ditanyakan oleh Nina, Giselle menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan sebuah penginapan yang sudah dia pesan beberapa waktu lalu.

Nina tidak mengira bahwa hal ini akan terjadi. "Teteh mau nginep di sana? Nanti kalau Abi tanya gimana?'

Giselle mengendikkan bahunya, "Bukan masalah aku. Aku nggak punya urusan sama dia," gadis itu terlihat tidak peduli dengan kekhawatiran Nina.

Tentu saja itu bukan urusan Giselle. ini urusannya dengan orang tuanya. Jika tahu Nina tidak amanah untuk menjaga Giselle, pasti dia akan dihukum. Entah uang bulangan yang berkurang atau lainnya. Jadi wajar sekarang Nina menatap Giselle dengan resah. Sambil terus memikirkan sesuatu yang dia perlu lakukan.

"Kamu anter aku bank dulu ya nanti. Aku perlu tarik uang cash. Nanti boleh pulang," Giselle meletakkan ponselnya. Kemudian menyeruput amerikano yang dia pesan. "Eh ini pakai uang kamu? Ntar aku ganti."

Untuk segelas amerikano, Nina merasa tidak keberatan. Yang membuatnya khawatir saat ini adalah bagaimana dia bertanggung jawab atas tugasnya menjaga Giselle sekarang? Jika dia tidak bisa kembali bersama anak perempuan ini ke rumah.

"Kamu nggak akan kemanapun. Gita menitipkan kamu ke saya. Jadi saya harus bertanggung jawab atas keberadaan kamu sekarang."

Nina menoleh kaget saat melihat sang ayang dengan jaket parasitnya berada di meja mereka secara mendadak. Membuta Giselle yang juga ada di sana terkejut dan kelu untuk sekadar membalas kalimat pertama yang diberikan oleh Charis.laki-laki yang tiba-tiba muncul, duduk di meja yang sama dan menyerahkan sebungkus makanan kecil ke hadapan Nina. "Uih ya. Abi di sini dulu, mau bicara sama Giselle," begitu katanya kepada ina. Membuat gadis itu mau tidak mau menarik kunci motor kemudian pergi dari sana.

"Dibanding Reza, kamu mungkin lebih mirip sama Ayah kamu. Reza seperti fotokopi Wanda sekali. Wanda di masa mudanya," tentu saja, pada saat Reza datang ke rumahnya, Charis menyadari kalau Reza adalah anak muda dengan wajah yang mirip sekali dengan Wanda. Sementara Giselle, perangainya, sikapnya, spontannya, mirip sekali dengan Wanda. Kedua anak ini mewarisi beberapa hal yang memang dimiliki Wanda sebelumnya.

To Charis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang