Tiga Puluh Dua

1K 142 24
                                    

"Lagi mikirin apa?" Charis beranjak dari kursinya, kemudian melangkah ke arah Rossa yang kini seperti sedang bicara dengan bayangannya di cermin.

Tangan Charis melingkar di tengkuk Rossa. Membawa kepala perempuan itu kepada rengkuhannya. "Masalah ini, biar aku yang mikir. Aku pasti nemu solusinya."

Seandainya saja itu mudah. Rossa yakin kalau dia bisa tidur nyenyak malam ini. Tapi, seakan satu tubuh. Satu kepala. Satu hati. Dia tidak bisa tidur karena sekarang apa yang dia pikirkan. Apa yang dia lakukan. Apa yang dia rasakan selalu berbalik menjadi tanda tanya.

Apakah selama ini Charis bahagia hidup bersamanya? Ataukah, selama ini setelah dia berhasil merawat ketiga anaknya hingga dewasa, Charis masih terbelenggu dalam kisah masa lalunya?

"Kamu tahu jawabannya. Aku nggak bisa nggak mikirin masalah ini. Ini soal Wanda, Charis."

Seperti nama tengah. Dulu, saat mereka menikmati masa muda mereka. Wanda seperti nama tengah bagi Charis. Dimanapun dia dikenal. Maka nama Wanda akan terseret.

Dulu dengan bangga, Charis akan memperlihatkan foto perempuan cantik dengan kulit putih bersinar di dalam dompetnya. Perempuan yang dia kenalkan dengan nama Wanda. Perempuan yang katanya sedang menunggu Charis kembali.

Rossa menyadari. Meskipun Wanda tidam pernah benar-benar memunculkan batang hidungnya. Perempuan hidup di dalam memori orang-orang yang mengenal Charis. Karena Charis tidak pernah luput untuk menceritakannya.

Tapi, suatu hari yang hampir dilupakan Rossa. Charis duduk di depan kamar kosannya. Sambil menangis. Sambil terisak. Hal yang membuat Rossa merasa baru menghadapinya.

Dalam isakannya, Rossa masih ingat kalimat yang dikatakan Charis. "Aku nggak bisa sama Wanda, Rossa. Nggak akan bisa."

Saat itu Rossa memeluk tubuh Charis. Tidak peduli dengan larangan agama yang dia jungjung tinggi. Dia yang mencintai Charis tidak tahan memberikan curahan hatinya.

Malam itu, Rossa berjanji pada dirinya sendiri. Untuk menutup luka yang ada di dalam hati Charis. Merelakan perasaannya untuk lelaki itu. Dan berusaha membuang jauh kenangan yang pernah Charis bangun tentang Wanda.

Rossa tahu. Sangat tahu. Bahwa hari ini baik cepat atau lambat, akan dia hadapi. Dia hampir saja lupa. Dan terlena. Bahwa sejak awal, Charis tidak akan pernah menjadi miliknya. Lalu malam inilah waktunya. Dia melepas Charis.

Rossa memutar kursinya. Kali ini dia berhadapan dengan Charis. "Kamu cinta aku?" Begitu tanyanya kepada Charis.

Lelaki itu menekuk alisnya, "kamu nanya apaan deh?"

Rossa menarik napas, sekali lagi dia bertanya. "Jawab aja, kamu cinta aku?"

Kali ini mata Charis berusaha menolak tatapan yang dituntut Rossa. "Ci..nta," katanya terbata.

Rossa melepaskan genggaman tangan Charis padanya. Kemudian berdiri, lalu membelakangi Charis. Air matanya jatuh. Dan dia tidak ingin Charis melihat kesedihannya. Karena dengan ini, mungkin Charis akan menghadapi kesulitan lain.

"Perjanjian kita masih berlaku Ris. Wanda mungkin butuh kamu. Kamu bisa pergi. Aku nggak akan larang. Soal Teo, Tasya dan Nina biar aku yang kasih tahu tentang masalah ini."

"Rossa kita udah bahas ini sebelumnya. Kita nggak akan bercerai. Terlalu kekanakkan buat kita memutuskan jalan itu."

Rossa memijat pelipisnya, kemudian dia menatap Charis. "Kamu nggak sadar? Perasaan kamu ke Wanda masih sangat besar Ris. Aku nggak bisa menggantikannya. Dan aku juga nggak bisa direcokkin dengan masa lalu kamu. Bercerai adalah pilihan yang sangat baik."

To Charis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang