Delapan

875 124 25
                                    

"Kenapa sih harus ke SD mereka Ichel, yang bener aja deh. Mana ini kan udah agak sore, pasti gurunya udah pada pulang," Reza di belakangnya mendengus sebal.

Giselle sebenarnya tahu, akan sangat sulit menikmati perjalanan pencarian ini dengan sang Abang. Pertama, karena Reza adalah sosok perfeksionis yang mungkin akan banyak mengeluh. Kedua, karena Reza tidak suka hal yang pasti, seperti pencarian ini.

Ketiga. Ini yang paling penting, Reza itu tukang mengeluh! Giselle selalu benci dengan fakta bahwa di balik sosok sempurna Kakak lelakinya itu, ada sosok kekanakkan yang amat sangat dia benci. Padahal apa salahnya sih, ikut rencana yang sudah Giselle susun?

"Kan kita bisa cari di tempat terakhir dia kuliah! Kenapa juga harus ke sekolah dasarnya?"

Giselle punya cara pikir berbeda. Dia ingin merasakan bagaimana Ibu mengenal sosok Charis pertama kali. Ya itu di sini, dari surat-surat yang dia baca, mereka pertama kalinya bertemu di tempat ini. Saat mereka masih menjadi dua orang yang tidak saling mengenal.

Giselle hanya ingin benar-benar merasakan perjalanan Ibunya di masa muda. Di pertengahan tahun 1980. Saat ibunya mungkin masih menjadi primadona di setiap sekolah yang dia kunjungi. Bertemu dengan cinta monyetnya yang menjelma sebagai cinta pertamanya. Cinta yang dia rawat hingga hari ini.

"Udah sepi," seseorang tiba-tiba muncul di sampingnya. Laki-laki yang dengan sengaja mewarnai rambutnya dengan abu-abu tua. Yang senyumannya akan menyihir siapapun untuk menyukainya. Termasuk Giselle sendiri.

"Iyalah, udah bukan jam sekolah juga. Tapi kayaknya ada guru deh di sini. Mau coba tanya-tanya ah," kata Giselle dengan penuh semangat tidak memedulikan Reza yang masih kerepotan dengan pakaiannya yang benar-benar panas. Ditambah sinar matahari yang menyengat.

Sementara Ryu, sebagai kekasih yang baik, mau tidak mau hanya menghela napas dengan kelakuan Reza itu. Menemaninya, adalah salah satu cara dirinya memberikan perhatian yang dibutuhkan Reza. Meskipun ya, Ryu juga kesal dengan sikap perfectionis anti debunya Reza.

Ryu memandang Giselle dan Shotaro, lelaki yang sangat setia menemani adik perempuannya itu kemanapun. Dari kejauhan, mereka menjauh, berusaha mencari seseorang yang mungkin bisa mereka tanyai. Tentang seorang siswa yang pernah bersekolah di sekolah ini, puluhan tahun yang lalu.

"Menurut kamu, kita bakal ketemu sama Charis nggak ya?" tiba-tiba saja Ryu bertanya, membuat Reza menoleh ke arah perempuan itu.

"Nggak tahu," katanya pelan, "Aku harap nggak," susul dia tak kalah pelan.

"Kamu masih belum ikhlas ya?"

Sejujurnya iya. Meskipun dia sudah punya pendapat untuk sepakat dengan perjalanan ini. hatinya yang paling kecil tetap merasa ragu. Karena mungkin apapun yang akan mereka kerjakan, tidak membuahkan hasil yang mereka inginkan. Kebahagiaan Ibu.

"Tapi kamu mau terus berjalan? Keinginan kamu, dan apa yang kamu lakukan sekarang terlihat sangat kontradiktif tauk!"

Reza menarik ujung bibirnya, "Kadang, tidak tahu memang lebih baik daripada menyakiti hati kita sendiri kan?"

Tidak, Ryu tidak setuju. "Aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama kalau kamu tiba-tiba menghilang Za. Itu bukan tindakan gentle. Dan kayaknya Charis melakukan hal itu. Kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak ketemu Charis."

"Itu dia, kenapa kita harus menemui lelaki nggak gentle itu ke Ibu?"

"Supaya Charis merasa bersalah."

Alis Reza bertaut. "Maksudnya?"

"Ada pepatah, rasa bersalah itu jenisnya banyak. Tapi yang paling tidak bisa dilupakan adalah, tidak melakukan apapun terhadap rasa bersalah itu."

To Charis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang