Sepuluh

921 116 29
                                    

Hi, denial fans here. Sorry for not update for a time. I am back with this story. Hope you enjoy it. And give me a feed back. Its un edited guys. Wkwkwk. Mark the word if you see the typos.

"Pindah?" Giselle tidak bisa menutupi keterkejutannya ketika dia mengetahui bahwa orang yang dia cari sudah tidak tinggal di alamat tersebut sejak belasan tahun yang lalu. Dan parahnya, yayasan ini seperti tidak tahu kemana sosok itu pergi.

"Iya pindah. Bahkan ketika saya masih belajar di sini, orang itu udah pindah. Katanya, dulu, memang pengurus pesantren di sini. Tapi, sekarang sudah nggak semenjak pesantren diserahkan ke kerabatnya," ujar seorang yang belakangan mengenalkan diri sebagai Digta, salah satu pengurus pondok pesantren ini.

Giselle menghela napas. Matanya terpejam. Berusaha untuk mencari cara untuk menemukan orang itu. Menariknya untuk bertemu dengan ibu. Memastikan bahwa Ibu bisa bertemu dengan belahan jiwanya yang sudah hilang selama puluhan tahun.

Tapi sekarang dia menemukan jalan buntu. Kembali bukan pilihan yang biasanya Giselle ambil. Karena dia tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Dia tidak suka menghancurkan harapan orang lain.

Itu namanya tanggung jawab. Ibu mengajarkannya banyak hal salah satunya adalah bertanggung jawab. Jadi, Giselle harus bertanggung jawab terhadap harapan Ibu yang mungkin ingin sekali bertemu dengan Charis. Di saat-saat terakhirnya.

"Apa nggak ada cara lain saya bertemu dengan Pak Charis?"

Digta menautkan alisnya. "Pak Charis?"

"Iya, sosok laki-laki yang katanya tinggal di rumah depan," jari telunjuk Giselle menunjuk ke arah lahan kosong yang sudah rata.

"Masya Allah, Pak Charis sudah pindah sejak lulus SMA. Orang tuanya meninggal beberapa saat setelah itu, jadi rumahnya dijual ke salah satu pengurus kami pada saat itu. Seenggaknya itu yang saya tahu."

"Jadi, Pak Charis sudah tidak tinggal di sini sekitar? Eum, berapa lama ya?" Giselle berusaha menemukan jawabannya sendiri, menghitung berapa lama itu sudah terjadi.

"25 tahun atau lebih dari pada itu, soalnya saya tinggal disini bersama Ayah saya sudah selama itu. Lebih lama daripada kelahiran saya. Jadi, saya nggak tahu persis."

"Tapi Ayah-nya mas pasti tahu."

"Jelas tahu, Ayah saya dan Pak Charis kan sepupu."

"Dia pasti tahu caranya menghubungi Pak Charis. Bisa saya ketemu Bapaknya Mas?"

Digta menautkan alis. "Nggak bisa sekarang."

"Kenapa?" saura Giselle penuh kecewa. Dia tidak mau kesempatan ini mengarahkannya pada ketidak jelasan lagi.

"Ayah saya sedang ngajar Aliyah. Jadi mungkin bisa nanti tengah malam."

"Aliyah itu orang? Dia ngajar private?"

Digta tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya. "Maksudnya Madrasah Aliyah mbak, Itu setara dengan SMA."

Giselle membulatkan bibirnya. "Maaf saya nggak tahu. Itu kira-kira berapa lama lagi?"

Digta menoleh ke arah jam dinding di ruangan tersebut. "Dua jam lagi, nggak apa-apa kan ya mbak?"

Dibanding harus mencari tanpa arah, Giselle akan memilih untuk menunggu dan memastikan arah yang benar untuk menemukan Charis. Lelaki yang sangat ditemui oleh Ibu-nya. Wanda Sonia.

"Saya tunggu aja deh mas. Dua jam nggak terlalu lama. Tapi mungkin saya akan makan malam dulu dengan keluarga saya."

"Kebetulan, kami akan ada makan bersama di aula. Kalau tidak keberatan kalian bisa bergabung dengan kami."

To Charis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang