Tujuh Belas

602 118 16
                                    

Charis duduk berhadapan dengan Reza. Siapapun yang mengenal Wanda pasti tahu, bahwa anak lelaki ini mewarisi lekuk wajah dari sang Ibu. Hidung yang mancung, mata yang terduh, dagu dan pipi yang membentuk satu kesatuan sempurna.

Awalnya Charis juga kaget karena dia seperti melihat Wanda dalam versi laki-laki muda. Tapi, mengingat apa yang dikatakan oleh Bekti, dia tahu bahwa mereka semua adalah tamu yang akan datang. Yang akan membuka lagi pandora masa lalunya.

"Kamu mirip sekali dengan Wanda," kata Charis pelan berusaha bijak meskipun di dalam hatinya ada gemuruh yang sangatbesar. Yang siap memporak-porandakan hidupnya.

Kemudian Rossa hadir, daster bewarna coklat dengan kerudung serutnya, membawa beberapa camilan dan minum yang mungkin akan dinikmati sambil berbincang-bincang. "Silakan dinikmati, Nak Reza dan Nak Giselle."

Giselle dan Reza bergantian tersenyum membalas kalimat dan sapaan hangat yang diberikan oleh perempuan paruh baya itu kepadanya. "Terimakasih bu," kata Reza.

Sulit. Sangat sulit untuk membenci perangai Rossa yang penuh keibuan. Dia memberika perangai seperti Wanda. Persis Ibu mereka yang kii terbaring sakit.

Ada rongga yang begitu membekas melihat Charis dan Rossa berdampingan duduk. Itu yang dirasakan Reza saat ini. bagaimana Ibunya berusaha mengubur kesedihan dan kerinduannya. Bagaiman Ibunya hidup seorang diri belakangan ini dan melawan satu-satunya hal yang bisa dia meninggalkan mereka. Dirinya dan Giselle.

Reza marah. Marah pada ketidakadilan ini. Dia marah karena Charis hidup dengan baik. Dia marah karena hanya ibunya yang harus melalui ini sendirian. Dia marah karena Ayahnya harus hidup seumur hidup sebagai pengganti lelaki sialan ini.

"Nak Reza ada yang mau disampaikan?" suara ini dari bibir bijak Charis. Laki-laki berengsek yang bersembunyi dari kealimannya. Bersembunyi di balik keshalihannya.

Reza menarik kotak yang ada di pangkuan Giselle. Lalu meletakkannya di atas meja. "Selama perjalanan, saya pikir, dan berdoa kalau anda nggak akan hidup dengan baik karena anda sudah meninggalkan Ibu saya begitu saja. Tapi yang saya lihat, sebaliknya. Sepertinya Tuhan sedang menghukum saya."

"Sshhh," sela Rossa yang merasa terganggu dengan kalimat yang disampaikan Reza. "Jangan bilang begitu, Allah punya rahasia dan hadiah untuk umatnya masing-masing."

"Ibu mungking nggak pernah ada di posisi Ibu saya, bisa bilang begitu!" kata Reza lagi, kali ini nadanya naik beberapa tingkat. Tidak tahan dengan situasi yang menyebalkan seperti ini.

"Abang, jangan keras-keras ih," Giselle berbisik di sampin Reza menarik kemejanya agar lelaki itu bisa menangani emosinya.

Reza membuang tatapannya yang sudah tidak bisa dia tahan lagi. Dia muak ada di sini. Tapi mengingat keadaan sang Ibu, maka inilah satu-satunya yang bisa dia lakukan. Dia harus melalui ini meskipun sangat muak.

Charis yang merasa bahwa aroma Wanda yang ada di tubuh dua anak ini ikut berpikir. Ah apa yang dia lakukan hingga membuat anak ini begitu marah dengannya? Dia tidak tahu. Tidak memiliki satu clue pun. Hingga akhirnya dia membuka kotak tersebut dan terkejut dengan surat-surat yang ada di dalamnya.

"Apa ini?" tanya Charis.

"Surat dari Ibu, untuk Pak Charis. Surat yang dibuat oleh Ibu di masa-masa merindukan Bapak. Jadi jika berkenan Bapak bisa membacanya."

Tangan Charis gemetar. Tentu saja. Tentu, bukan ini yang ingin dia baca dari Wanda. Bukan.

.

Charis sudah siap dengan motor bebeknya di depan sekolah Wanda. Di tangannya sudah terdapat sebuah helm bewarna putih, yang memang pernah Wanda titipkan kepada Charis. Lelaki itu dengan masker dari buff yang menutup seagian wajahnya. Menghampirinya.

To Charis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang