Pagi seakan merenggut paksa malam untuk pergi. Begitupun, dering telepon memaksa dua gadis yang tertidur pulas untuk membuka mata.
Entah dering ke berapa ponsel itu menyala menampilkan nama Ratih di layarnya. Awalnya, ponsel milik Anes yang berbunyi. Kini giliran milik Nadir yang suaranya kian nyaring.
"Berisik," keluh Anes dengan mata sedikit terbuka. Tangannya menepuk-nepuk bahu Nadir yang tadi ia peluk. "Matiin hapenya, berisik."
Nadir hanya berdeham, kemudian ponselnya berhenti berdering.
Cukup lama hening. Nadir mengerutkan keningnya kemudian melepaskan diri dari pelukan Anes. Ia mendekati stopkontak untuk memeriksa ponselnya. "Dua puluh dua panggilan, banyak banget," gumamnya.
Giliran ponsel Anes yang menyala lagi. Segera tangan Nadir meraih benda itu. "Halo," ucapnya setelah panggilan tersambung.
"Halo, Nadir. Lama banget, sih angkat teleponnya!" Di seberang sana Ratih yang berbicara. Nadanya terdengar kesal.
"Maaf baru bangun. Tumben banget telepon pagi buta, ada apa?"
Nadir menatap Anes yang keheranan melihatnya. "Siapa?"
Gadis itu sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. "Ratih, Nes."
"Anes udah bangun juga?"
"Loudspeaker dong, mau denger." Anes mendudukkan tubuhnya.
"Anes, Nadir. Ada yang mau aku sampein."
"Apa?" sahut Anes dan Nadir berbarengan.
"Roni minta aku buat berhenti kerja. Hari ini aku bakal resign."
Anes dan Nadir membulatkan mata tak percaya. "Hah! Serius. Jangan bercanda, deh." Anes berusaha meyakinkan bahwa ucapan Ratih hanya candaan belaka.
Namun, putusan akhirnya adalah Ratih tetap harus berhenti kerja. Roni yang meminta Ratih agar menjadi ibu rumah tangga saja, karena tidak mau istrinya itu kecapekan.
Diam di rumah atau bekerja adalah dua pilihan sulit bagi Ratih. Sebelum menikah, ia sempat mendiskusikan hal ini dengan Roni.
Nadir dan Anes juga menjadi saksi saat sepasang suami-istri itu berdiskusi. Nadir cukup kecewa karena Roni melanggar janjinya yang mengatakan akan mengizinkan Ratih tetap bekerja setelah menikah. Begitu pula dengan Anes. Namun, pilihan tetap pilihan.
Ratih hanyalah seorang istri yang tidak bisa menentang kehendak suami. Ia mengerti betul jika suaminya itu khawatir. Maka dari itu, Ratih meminta pengertian kepada dua sahabatnya.
Satu jam berlalu setelah Ratih menelepon tadi pagi. Anes dan Nadir sudah bersiap untuk berangkat kerja.
Kemeja satin warna abu dan rok span hitam selutut dipilih Nadir kali ini untuk bekerja. Gadis itu tidak terlalu bergairah. Kalau saja cutinya belum habis, ia ingin mengambilnya lagi untuk hari ini.
Berbeda dengan Anes yang mengenakan blus lengan panjang warna lila dengan aksen pita di bagian lehernya, dipadukan dengan rok span kuning selutut yang memiliki belahan di bagian kiri sepanjang lima senti.
Kepribadian dua gadis itu sangat berbanding terbalik ketika mereka bersedih.
Acap kali Nadir selalu mengenakan warna-warna gelap ketika ia bersedih. Entah hanya perasaanya saja atau bukan, tapi semua warna yang ia lihat ketika seperti ini seakan sama saja. Hitam dan abu-abu. Tidak ada putih atau lainnya.
Untuk memulihkan suasana hatinya pun cukup mudah, makanan. Namun, tidak sembarangan makanan yang ia terima. Hanya dari orang-orang tertentu saja.
Sedangkan Anes, lebih suka mengkombinasikan dua warna. Biasanya, ia akan mengenakan tiga atau lebih warna yang dipilih. Akan tetapi, di saat suasana hatinya tidak baik seperti sekarang dirinya terlalu malas memilih banyak warna.
