Dua hari terakhir ini, Nadir selalu pulang sendiri. Ini dikarenakan Anes yang selalu pulang terlebih dahulu. Tidak, sebenarnya tidak pulang ke indekos melainkan untuk pergi bertemu seseorang.
Hamdan. Entah apa yang membawa laki-laki itu kembali ke Jakarta. Anes sendiri belum menceritakannya, Nadir pun tidak mencari tahu. Pasalnya, setiap Anes pulang dirinya sudah tertidur.
Anes semakin sibuk dengan ponselnya, bertemu di tempat kerja pun hanya sesekali. Makanya mereka tidak banyak memiliki percakapan.
Nadir tidak mengambil pusing sikap Anes untuk saat ini, karena hal itu dirasa wajar bagi dirinya. Ratih dan Nadir pun sudah sama-sama tahu bagaimana sikap Anes jika sudah dekat laki-laki baru.
Hiruk-pikuk Jakarta seperti tak ada habisnya. Apalagi jam pulang kantor yang membuat Nadir muak menaiki kendaraan umum. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan sekitaran kantornya sambil mencari-cari tempat makan yang belum pernah ia kunjungi.
Nihil. Tanpa Nadir sadari, sudah satu jam ia berjalan. Namun, tak ada satu pun tempat yang ingin ia singgahi. Kalau sendiri begini, dirinya menjadi pemilih dalam perihal tempat makan. Sebelum menemukan yang pas, ia tak akan berhenti berjalan sampai sekarang.
Berkali-kali ia mengecek ponselnya yang tidak ada apa-apa sambil sesekali menengok kanan dan kiri.
Keteledorannya kali ini hampir berbuah malang. Ponselnya terjatuh dari genggaman ketika badannya sedikit terhuyung akibat salah langkah. Entah sejak kapan bebatuan itu ada di trotoar.
Nadir berjongkok untuk mengambil ponselnya yang nahas. "Deuh, make ditolonjong sagala[1]. Ya kali Ibu bakal hamil lagi?[2]" Ia berdiri dan mencari tempat duduk di sekitar untuk memeriksa keadaan ponselnya.
"Syukurlah hapenya masih nyala." Nadir bermonolog lagi sambil duduk di kursi taman yang ia temukan.
"Handphone-nya baik-baik saja?"
Nadir menatap lamat-lamat ponselnya kemudian mengangkat kepala. Ia tidak menemukan siapanpun di depannya. Jadi, siapa yang berbicara? Pertanyaan itu hanya bertengger di kepalanya. Ia kembali fokus pada ponselnya.
"Saya izin duduk, ya."
Pendengarannya tidak salah, ia mendengar suara seseorang. Jarinya masih senantiasa menari-nari di layar ponsel.
Seperti teringat sesuatu, Nadir mengerutkan keningnya. "Ah, kayak kenal suaranya." Tanpa menyuarakan kalimat itu, matanya masih terfokus pada satu benda. Ia pura-pura tak menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya.
"Fokus sekali sama handphone-nya." Laki-laki itu kembali bersuara.
"Tidak berniat untuk melepas?"
Barulah Nadir mengangkat kepalanya lagi. Ia duduk menyamping untuk melihat laki-laki itu. "Benar dugaanku, dia Baskara," ucapnya dalam hati.
Nadir menatap Baskara naik-turun perlahan lalu menunjuk dirinya sendiri. "Kamu bicara sama aku?"
Baskara menaikkan sebelah alisnya.
Tak mendapat jawaban, Nadir berbicara lagi, "Serius kamu bisa lihat aku?!" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya sampai ponsel yang tadi dipegang jatuh ke pangkuannya. "Astaga! Akhirnya ada yang bisa lihat aku!"
Tidak mendapat reaksi apa-apa. Nadir mencebik. "Kok nggak kaget sih aku ngomong gitu!"
Baskara terkekeh, tanpa sadar tangannya mengusap-usap rambut Nadir dengan gemas sampai gadis itu memundurkan kepalanya. "Saya bahkan bisa menyentuhmu. Artinya, kamu tidak invisible, kan?"
Nadir menepak tangan Baskara yang masih berada di atas kepalanya. "Apa, sih nggak sopan!" Tangannya merapikan rambut yang diacak-acak Baskara. Sebenernya tidak terlalu berantakan, tapi Nadir ingin saja merapikannya.
