Baru kali ini indekos terasa sepi. Sepulang dari kafe, ia mendapat kabar dari ibu kos bahwa tetangga sebelah yang ada dua orang pulang kampung. Katanya, tidak akan kembali.
Penghuni kamar paling atas pun beberapa pulang kampung. Entah angin apa yang membuat mereka serentak untuk pulang. Pantas saja belum terlalu larut tapi sudah sunyi.
Biasanya, penghuni kamar atas selalu menyalakan musik cukup keras ditambah teman-temannya yang super heboh membuat Nadir sakit kepala.
Netra Nadir melirik jam dinding. Pukul sembilan malam pas. Sudah satu jam sejak ia pulang dari kafe. Pikiraanya masih berkeliaran mengingat kejadian di kafe beberapa waktu lalu.
Tubuhnya sudah merebah dengan mata tertutup. Namun, pikirannya jalan-jalan tak ingin berhenti. Ia menguatkan dirinya untuk tidak membuka mata.
Gagal. Nadir mengubah posisi menjadi telungkup, tubuhnya mendekati stopkontak. Tangannya meraih ponsel yang sedang ia charger.
Usap sana-sini. Klik aplikasi satu, kembali lalu klik aplikasi lain dan melakukan itu berulang kali. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Memainkan permainan di ponselnya tidak membantu sama sekali.
Nadir membuka aplikasi telepon dan memeriksa kontaknya. Nama Anes tertera paling atas. Ia klik.
Tersambung...
Rejected...
"Ish! Kok dimatiin. Sombong banget ni anak!" Ia mematikan ponsel dan melempar pelan benda itu.
Kembali merebahkan badan dengan tangan menyilang. Netranya menatap langit-langit.
"Silau deh." Nadir segera berdiri dan mencari saklar untuk mematikan lampu.
Ruangan yang tadi benderang kini redup. Hanya terlihat putih-putih. Dalam hati menyesal karena mengganti sprei kasurnya dengan warna putih polos. Ia kembali menyalakan lampu.
"Tapi silau, matiin lagi aja deh."
Selanjutnya, Nadir malah memainkan saklar. Penyesalan akhirnya adalah lampu tidak dapat dinyalakan lagi.
Gadis itu mendengkus lalu kembali ke tempat tidur dan mengurung dirinya dengan selimut. Bibirnya terus mencebik karena ulahnya sendiri. "Baru juga ganti lampu seminggu lalu udah mati lagi. Sialan!"
Baru kali ini Nadir sungguh tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berkali-kali ia mengecek ponselnya, tidak ada apa-apa. Hanya chat dari Anes yang menanyakan kenapa dirinya menelepon.
Nadir sengaja tidak membalasnya karena ingin membuat Anes penasaran. Pasti setelah ini juga anak itu akan mengirim pesan yang banyak, Nadir sudah sangat tahu kebiasaan temannya.
Cukup lama Nadir membuka dan menutup matanya. Mengibas-ngibaskan selimut memunculkan kepalanya lalu menutupnya lagi. Mengeluarkan kaki dari selimut lalu memasukannya lagi.
Terakhir ia lihat jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul dua belas. Tiga jam ia tidak melakukan apa-apa matanya tak ingin juga tertidur.
Anes pun tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Kalau di kampung, Anes akan menjadi anak baik-baik. Namun, semenjak di sini ia menjadi anak nakal yang selalu pulang malam.
Kalau saja Ratih masih tinggal di sini, Anes akan ditelepon berkali-kali agar gadis itu pulang di bawah jam sebelas.
Bahaya bagi Anes kalau orang tua gadis itu tahu anaknya pulang tengah malam. Maka dari itu, mama Anes selalu mewanti-wanti pada Ratih agar tidak membiarkan anak gadisnya pulang tengah malam.
Kali ini, hanya dirinya di kamar ini. Ia tak bisa seperti Ratih karena merasa dirinya pun selalu pulang hingga larut malam. Bahkan pernah ia pulang keesokan harinya.