"Tumben masak aja main hape, Nad." Anes menegur Nadir seraya menyisir rambutnya yang baru kering.
Nadir nyengir sebentar menatap Anes lalu kembali fokus pada penggorengan di depannya. Tangannya yang lain sesekali mengecek ponsel.
Rutinitas Sabtu pagi Nadir dan Anes kali ini bukan lagi joging. Mereka pun sudah lama tidak lari kecil mengelilingi taman yang tak jauh dari indekos semenjak Ratih menikah.
Keduanya pun sering bangun di atas pukul sembilan kalau hari libur. Jika Ratih masih di sini, Nadir maupun Anes tidak akan ada yang berani bangun sesiang itu.
Ratih akan menjadi sosok ibu yang paling cerewet jika keduanya tidak bangun tepat waktu.
"Udah beres masaknya?"
"Udah."
Mereka siap-siap untuk menyantap sarapan yang baru saja selesai dimasak Nadir. Tidak banyak lauk yang dimasak. Bagi mereka, yang penting kenyang.
Anes terlihat makan tanpa selera. Nadir tidak menyadarinya karena gadis itu terlalu fokus dengan ponsel.
Hening. Tak ada percakapan di antara keduanya sampai Nadir yang menyadari terlebih dahulu.
Ia mematikan ponsel dan menatap Anes yang sekarang memainkan makanannya dengan sendok. "Kenapa ngelamun?"
"Woy!" Nadir melempar kerupuk yang sudah dipotong ke wajah Anes dan mengenai hidung temannya itu.
Anes mengerjap dan mendesis. "Anjir, bikin kaget aja!" Tangannya mengusap-usap dada.
"Ngelamunin apa? Beban hidup? Kan kamu bebannya." Nadir mengakhiri kalimatnya dengan kekehan.
"Sia deui beban. Eh, Nad. Kemarin, mantannya Hamdan nelepon." Anes duduk tegap menatap Nadir di depannya.
Lawan bicara Anes mengerutkan sebelah alisnya. "Nelpon siapa?"
"Nomornya Hamdan."
Nadir mengangguk-angguk. "Iya. Terus hubungannya sama kamu apa?"
Anes menurunkan pandangannya dan mendorong piring berisi sarapan yang tadi ia santap. "Kebeneran hapenya lagi ada sama aku, Nad. Waktu Hamdan anterin aku pulang, hapenya ketinggalan. Sekarang masih ada sama aku." Ia merangkak menuju tas milikinya.
Nadir melihat Anes menunjukkan sebuah ponsel hitam tanpa sampul. Ia tidak berbicara apa-apa lagi menunggu Anes melanjutkan kalimatnya.
"Mantannya bahas soal anak mereka."
Nadir berdeham. Ia tak menyangka Anes akan mengenal pria yang sudah memiliki anak, bisa jadi juga masalah laki-laki itu dengan mantan istrinya belum selesai.
Perasaan Nadir cukup terganggu dengan itu. Pasalnya, Anes belum pernah memiliki hubungan dengan laki-laki yang sudah menikah sebelumnya. Ia rasa, standar Anes cukup tinggi mengenai laki-laki. Namun, tidak juga setelah melihat kedekatan Anes dan Hamdan.
"Nes, kamu serius bakal terusin hubungan kamu sama Hamdan? Kalian pacaran gituh?"
Anes mengulum bibirnya lalu menggeleng. "Aku juga nggak tau, Nad." Ia mengembuskan napas berat.
"Apa yang bisa aku bantu, Nes? Ini pertama kalinya loh kamu jalin hubungan sama orang yang udah punya anak."
"Kami belum meresmikan hubungan, kok. Ah, lupain aja. Paling nanti Hamdan bakal ke sini lagi buat ambil handphone-nya."
"Hm."
Keduanya kembali melanjutkan sarapan.
Anes maupun Nadir tidak memiliki rencana untuk hari libur kali ini. Setelah selesai sarapan dan beres-beres. Mereka kembali rebahan di atas karpet yang digelar Nadir dan sibuk dengan ponsel masing-masing.