Adzan Maghrib menggema. Aida yang larut dengan keyboard laptop, sembari bersandar di kepala ranjang segera bangkit. Menggelengkan kepala dan memijat tengkuk demi melemaskan leher nan kaku. Lalu kedua tangan beralih ke bagian belakang tubuhnya. Mengusap pinggang yang serasa panas. Jelang lima bulan usia kandungan, Aida merasakan perutnya semakin tegang . Bahkan tak jarang, di tengah lelapnya Aida terbangun, merasakan sakit dan kram yang melanda di bagian bawah perut dan betis.Sembari memegang pinggang yang masih kaku, Aida melangkah menuju pintu berbahan stenlis yang terdapat di ruangan itu. Sebulan yang lalu, Zafran membobol dinding, menghubungkan dengan kamar mandi yang baru saja dibuatnya, di lahan kosong yang terdapat di samping kamar Aida.
Entah apa tujuan Zafran. Pastinya, Aida sangat berterima kasih. Dikarenakan ia tak perlu repot keluar masuk kamar mandi dalam keadaan berbusana lengkap. Ditambah perutnya yang semakin membuncit, pastinya ia mengalami kesusahan saat mengenakan baju dan kaus kaki di dalam ruangan sempit tersebut.
Usai berwudhu, Aida membentangkan sajadah lalu mengenakan perlengkapan sholat.
Aida menyentuh perutnya, mengusap lembut di setiap sisi. Kedua janin mungil itu bergerak. Mereka segera merespon sentuhan sang bunda.
"Ayo Sayang, kita sholat maghrib tiga rakaat. Semoga Allah jadikan kalian anak-anak yang sholih sholihah. Menjadi penghafal Al-Qur’an dan Sunnah, faham dalam agama dibarokahi kehidupan di dunia dan akhirat." Menjadi kebiasaan Aida, mengajak anak-anaknya berbicara di setiap kegiatan yang ia lakukan.
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (Qs.Ibrahim ayat 40)
Penuh hikmat dan penghambaan, Aida mengangkat kedua tangan. Bertakbir dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Satu persatu rangkaian gerakan Aida lakukan se tumakninah mungkin. Berusaha meninggalkan sejenak segala urusan dunia.
Berlama di sujud terakhir. Rangkaian doa demi si buah hati tak lupa Aida panjatkan. Meminta agar anak-anaknya sehat, sempurna, berakal cerdas, dan berilmu lagi beramal. Diberikan kebarokahan, terhindar dari mara bahaya serta menjadi zuriat yang berbakti. Dipenuhi hatinya dengan cahaya dan hikmah. Menjadi umat yang pantas menerima nikmat dari Allah.
"Aida."
Terdengar ketukan dan panggilan Zafran tepat saat Aida mengakhiri shalatnya. Usai mengucakan salam, ia pun menjawab seruan tersebut.
"Sebentar Bang!"
Dengan masih berpakaian sholat lengkap, Aida membuka pintu. Letak kamar yang tidak jauh dari ruang makan, membuat Aida mencium jelas Aroma yang menguar dari kardus kuning yang terletak di atas meja. Perpaduan lelehan butter, coklat, kacang, dan keju membuat ia menelan ludah. Cacing di perut Aida pun turut memberontak.
"Ada apa, Bang?"
Aida menoleh pada Zafran yang sibuk akan benda di genggaman.
"Makan!" Zafran menjawab pertanyaan Aida tanpa mengalihkan pandangan dari tuts smartphonenya.
"Aida masih kenyang!"
"Makan sekarang! Ingat dua nyawa yang ada di perutmu. Aku tak mau anak-anakku kelaparan."
Aida tersentak. Empat bulan lebih mengandung darah daging Zafran, baru kali ini laki-laki itu menyebut anak-anakku. Apakah ini mimpi? Atau ada yang salah di pendengarannya?
Sudut mata Aida menggenang. Ia tak dapat menahan rasa haru yang seketika menyeruak di hatinya. Benarkah kata-kata itu terucap dari bibir laki-laki yang telah mengabaikan mereka berbulan-bulan lamanya? Tak mau ketahuan Zafran, Aida segera memalingkan wajah dan menghapus secepat mungkin dua bulir bening yang telah menetes.
"Lama!"
Zafran bangkit dari sofa, melangkah mendahului Aida yang masih tercenung. Duduk di salah satu kursi yang melingkari meja.
"Duduk! Apa aku harus menunggumu sampai besok pagi baru bisa makan?"
Sindiran laki-laki itu membuat Aida tersadar dari lamunan. Segera ia mengambil posisi, duduk di samping Zafran dengan sekat satu kursi sebagai pembatas di antara mereka.
Semangkuk nasi putih, udang asam manis, cah kangkung, dan ayam bakar tersaji di meja makan, membuat air liur Aida serasa mencair. Sejak perubahan statusnya dengan Zafran, Aida tak pernah menuntut nafkah yang memang seharusnya ia dapatkan. Aida pasrah, apapun yang dimasak Buk Nur ia makan tanpa bantahan. Bahkan tak jarang, saat Zafran terlambat memberi uang belanja pada asisten rumah tangga itu, Aida pun makan seadanya. Dan hal itu, luput dari perhatian Zafran. Dikarenakan ia jarang pulang dan tidak menginap di rumah ini. Entahlah, Aida tidak tahu, apakah Zafran mempunyai tempat tinggal yang lain.
"Harus berapa lama lagi aku menunggu?"
Tanpa bersuara, Aida meraih piring dan mengisi secukupnya dengan nasi putih yang masih mengepul. Dilengkapi sepotong ayam bagian paha, beberapa sendok sayur dan udang. Menuangkan air yang ada di teko kaca ke dalam gelas bertangkai.
"Kemana? Duduk!"
Teguran Zafran Aida dapatkan saat laki-laki itu mendapati Aida segera berdiri setelah mengisi piringnya.
"Aida makan di kamar, Bang!" Tanpa meletakkan piring dan gelas di setiap pegangan tangannya, Aida menjawab pertanyaan Zafran.
"Kamar itu tempat istirahat. Makan ya di sini!"
"Tapi, Bang!"
"Tak ada bantahan! Kamu masih wajib mendapatkan izin dariku. Jadi, aku tak mengizinkan kamu makan di kamar. Duduklah! Jangan rusak selera makanku!"
Aida bungkam, kembali duduk menempati kursinya.
Aida makan dalam diam. Setiap butiran nasi, serasa beling yang bertumpuk di tenggorokkan. Susah payah, ia menelan setiap suapannya. Sikap Zafran yang sinis dan otoriter, melenyapkan selera makan Aida.
"Makanlah dengan tenang!"
Aida terkesima. Setengah tak percaya, diangkatnya kepala meluruskan pandangan pada sumber suara. Laki-laki di hadapannya tersenyum. Mata itu, mata yang telah lama Aida rindukan.
Ya Allah, kenapa semudah itu laki-laki ini membalikkan suasana hati Aida. Yang tadinya dihempaskan sekuat mungkin, sekarang dengan kata lembut dan senyuman mampu melambungkan Aida ke langit tinggi.
Seketika mood Aida berubah. Setelah meminum beberapa teguk air, tenggorokan Aida pun serasa lapang. Pelan dan pasti, sendok demi sendok akhirnya makanan Aida tandas tak bersisa.
"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Zafran sesat setelah Aida meneguk habis air yang tersisa di gelas.
"Entahlah!" ucap Aida sembari mengangkat bahu.
"Tak adakah jawaban lain yang bisa kamu berikan untuk menjawab pertanyaanku?"
"Lantas Aida harus jawab apa? Yang pasti, pihak kampus akan mencabut semua beasiswa Aida. Mana ada perguruan tinggi yang membiarkan mahasiswanya hamil tanpa status yang jelas. Ini Indonesia, Bang!"
"Statusmu jelas! Kamu hamil karna pernikahan!"
"Menikah? Abang yakin?"
"Ya!"
"Semua perlu bukti, Bang! Tanpa adanya surat nikah mana ada yang percaya kalau Aida ini istri yang dihamili oleh suaminya. Lagian sebentar lagi status Aida akan berganti. Menjadi janda dengan dua anak."
Kata-kata Aida serasa menyentil Zafran. Laki-laki itu terdiam. Bibirnya terkatup rapat tanpa mampu bersuara.
"Lagian, bukankah Abang yang melarang Aida untuk memberi tahu status kita? Tak terbayang jika Aida datang ke kampus dengan perut begini. Pastinya akan jadi bahan gunjingan. Dan mereka akan berlomba mencari tahu. Apa Abang tak malu, jika nama Abang terseret atas kehamilan Aida?"
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan (Proses Penerbitan)
Spiritual"Aida mohon, jangan sentuh! Abang pulanglah!" Aida melembutkan suara. Berharap laki-laki itu tersentuh hatinya. "Sekedar sentuhan kulit, kamu enggan. Bahkan lebih dari inipun, bisa aku lakukan!" Kembali keegoisan menguasai pikiran Zafran. Penolakan...