[Assalammualaikum Bang, Aida izin keluar bareng Kiya]
Aida mengirimkan pesan pada Zafran yang telah satu minggu tidak menampakkan batang hidung di rumah. Tapi bukan berarti, ia lepas dari pantauan laki-laki posesif tersebut. Pada jam-jam tertentu, Aida akan mendapatkan rentetan pesan. Menyuruh Aida layaknya mengisi list absensi untuk melaporkan diri, pagi, siang hingga malam hari. Ia mengirimkan foto menu makanan dan segala vitamin yang akan dikonsumsi. Jangan harap Zafran lupa akan rutinitas tersebut. Jika Aida terlambat beberapa detik dari waktu yang disepakati, maka rangkaian pesan dan telpon akan menerornya.
[Kemana?]
Tak butuh waktu lama, pesan yang sudah berwarna biru itu segera mendapat balasan.Aida terdiam. Jari-jarinya yang hendak menulis pesan mendadak kaku. Haruskah ia jujur?
[Kemana?]
Aida menarik nafas panjang. Sedari tadi, ia sibuk menimang balasan yang akan ia kirimkan pada seseorang di seberang sana. Rangkaian pesan yang sudah tertulis, dihapus kembali dikarenakan keraguan yang mendera hatinya.Kembali satu pesan muncul di layar benda pipih yang ada di pegangan Aida. Menjadi kebiasaan Zafran, tidak akan menunggu lama hingga pesannya berbalas.
[Diam di rumah dan istirahat!]
Aida terduduk lemas, bahunya luruh. Zafran sosok yang keras dan tak mudah untuk merubah keputusan.[Aida tak'kan lupa makan dan minum vitamin. Aida janji!]
Lima menit menunggu, tak ada balasan.[Bang!]
[Bang!]
[Izinkan Aida!]Aida mendesah, tiga rangkaian pesan yang terkirim dalam waktu dua puluh menit tak jua mendapat balasan.
Satu pesan masuk.
[Mau kemana? Besok aku pulang dan akan antar kemana pun yang kamu mau]
[Aida maunya pergi sama Kiya, Bang! Aida janji akan menjaga diri]]
[Ok! Pastikan sebelum maghrib kamu sudah sampai di rumah!]
Aida menarik nafas lega. Jika tidak sadar akan kondisinya yang berbadan dua, dipastikan Aida akan melompat kegirangan.***
Kendaraan roda empat berbasis aplikasi, berhenti di depan pusat perbelanjaan yang terdapat di jalan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Perempuan berbadan dua, mengenakan dress panjang warna peach dengan stelan khimar senada pun turun dibantu rekannya. Bersisian mereka melangkah memasuki area mall yang menjadi pusat penjualan elektronik.
Surga belanja terpampang di hadapan mereka. Berbagai macam elektronik dengan beragam kualitas pun ditawarkan di sana. Menjadikan konsumen bebas memilih sesuai standar mutu dan buget yang mereka miliki.
"Kiy, langsung ke tujuan!"
"Nggak mau cuci mata dulu? Dah lama terkurung di sangkar emas saatnya Bumil senang-senang!" goda Kiya sembari menaik turunkan alisnya.
Aida menarik nafas panjang. Kiya sahabat satu-satunya yang mengerti dan tahu persis keadaan Aida. Dengan latar belakang kehidupan yang sama, mereka merasa senasib. Saling berbagi cerita tanpa ada yang bisa disembunyikan di antara mereka.
Kekecewaan sempat melanda Kiya. Tindakan Aida yang diam-diam menikah dan menyembunyikan status, membuat ia merasa menjadi sahabat yang tidak lagi dibutuhkan. Tanpa pertimbangan dan meminta pendapat Kiya, Aida mengambil langkah dan keputusan terbesar buat masa depannya.
"Nggak usah, Kiy!"
Dua sahabat itu terus melangkah. Memasuki satu persatu toko yang menyediakan barang yang Aida butuhkan.
Menjelang siang, suasana mall semakin ramai dan dipadati pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan keadaan perut yang kian membesar, Aida pun merasa kesulitan untuk berjalan di keramaian. Gerakan yang terbatas, membuat Aida seolah menjadi penghalang langkah para pengunjung. Bahkan beberapa kali benturan terjadi akibat orang-orang yang tidak sabar saat bersisian dengannya.
Aida melipir ke pinggir, memberi ruang bagi tubuhnya agar tidak terjepit di antara desakan pengunjung. Beberapa langkah di lalui Aida dengan aman tanpa bersinggungan dengan lalu lalang manusia. Sedikit menarik nafas, perempuan yang tengah berbadan dua itu menikmati kebebasannya. Tak lagi terhimpit di antara kerumunan.
Sembari melangkah, Aida menelisik beberapa toko yang dilalui. Memperhatikan display barang yang menarik minatnya. Tepat di depan toko smartphone merk kenamaan, seorang pramuniaga menghadang langkah Aida. Memberikan brosur sembari mempromosikan barang-barang yang lagi sale dan promo di toko tersebut. Dengan santun, Aida menolak berbagai diskon yang yang ditawarkan.
Aida kembali melanjutkan langkah. Walau toko tertinggal beberapa langkah di belakang, tapi brosur yang di tangan mampu menarik minatnya. Satu persatu ia perhatikan gambar dan harga yang tertera di kertas, membolak-balik sembari membandingkan setiap itemnya.
Aida lengah! Tanpa ia sadari, seorang batita yang belajar berjalan menghadang tepat di hadapannya. Aida tersandung! Seketika tubuhnya oleng dan hilang keseimbangan.
"Ma—maaf," ucap Aida sembari menarik mundur tubuhnya dari pegangan seseorang di hadapannya.
"Bang Zafran!" Aida ternganga. Tak disangka, ternyata ia jatuh di tubuh sang mantan suami yang sedang berjalan bersama kekasih barunya.
Gadis yang berdiri di sebelah Zafran menatap sinis pada Aida. Seolah merasa terancam, gadis cantik dengan dress selutut itu melingkarkan tangan di lengan Zafran. Tanpa berjarak, kedua tubuh muda-mudi itu saling menempel satu sama lain.
"Ini yang kamu bilang bisa jaga diri?"
Lelaki berhidung mancung dengan alis tebal, menyatu di setiap pangkalnya berdiri menatap Aida nyalang. Rahangnya mengeras, dengan kedua tangan mengepal.
"Maaf Bang, Aida tidak sengaja!"
Aida menahan tangan Kiya, menghambat langkah si gadis tomboi yang hendak maju ke hadapan Zafran. Aida menggelengkan kepala, memberi isyarat agar Kiya jangan terpancing.
"Pulanglah!"
Tanpa bersuara, Aida segera menarik tangan Kiya. Melanjutkan langkah, berjalan sembari menekuri lantai.
Dalam diam, Aida melanjutkan langkah. Perempuan berbadan dua itu menyembunyikan tangis. Ia hancur, rasa yang masih ada, menyakiti hati. Anehnya, kesakitan itu tak mampu mengusir cinta yang terpatri kuat. Dan Aida benci itu. Membenci kelemahannya yang tak mampu berpaling dari sosok Zafran Al Katiri.
Aida meringis! Dua makhluk yang ada di perut Aida berguncang. Mereka Bergerak aktif. Tendangan dan sikutan yang kuat, menyesak hingga ke ulu hati.
"Da, kenapa?"
Kiya yang sedari tadi menahan geram, bersuara melihat ekspresi Aida.
Tak ada jawaban.
Dengan kelopak yang menutup, Aida terus meringis, menggenggam kuat tangan Kiya demi menyalurkan rasa sakit.
"Da!"
"Sa—kit, Kiy!"
Aida menarik nafas, menggigit bibir bawah meredam rintihan. Kiya panik! Buliran yang mengalir deras di dahi Aida, membuktikan bahwa ia benar-benar kesakitan.
Seseorang menyambar tubuh Aida, segera dibopongnya tubuh yang melemah. Laki-laki itu menyibak keramaian, tak memperdulikan rengutan gadis cantik yang mengekor di belakangnya.
"Sa—kit!"
Rintihan pelan Aida, terdengar jelas di telinga Zafran. Laki-laki itu ketakutan! Wajahnya mendadak pias. Dengan tangan dan tungkai yang bergetar, ia menahan tubuh Aida di gendongan.
Zafran terpaku! Tubuhnya meremang!
Pergerakan kuat di perut Aida membuat ia terpana. Dada bidangnya merasakan langsung goncangan dua janin yang menjadi bagian dari tubuhnya. Laki-laki itu tak dapat menyembunyikan haru. Mata elangnya menelaga.
"Tahan Aida, kamu harus kuat! Jangan biarkan sesuatu terjadi pada anak kita!"
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan (Proses Penerbitan)
Spiritual"Aida mohon, jangan sentuh! Abang pulanglah!" Aida melembutkan suara. Berharap laki-laki itu tersentuh hatinya. "Sekedar sentuhan kulit, kamu enggan. Bahkan lebih dari inipun, bisa aku lakukan!" Kembali keegoisan menguasai pikiran Zafran. Penolakan...