"Tidak ada perempuan yang bisa menolakku. Dan itu terbukti. Termasuk gadis yang mengaku sholeha. Baju longgar dengan kerudung panjangnya, tak mampu menahan pesonaku." Laki-laki itu tertawa sumbang, sembari berlagak merapikan kerah atasan. Sebentuk garis miring tersungging dari bibirnya.
"Tapi, ia berbeda." Laki-laki berkaca mata, membantah kata-kata congkak yang mengalir dari bibir pemuda berkaus putih polo press body, dengan stelan celana cargo hijau army tersebut.
"Alah beda apanya." Pemuda itu mendengkus, mengibaskan telapak tangan di udara." Bertopengkan akad, aku bisa memiliki dan melakukan apa saja pada tubuhnya."
"Ingat, dia istrimu! Seorang suami tak pantas merendahkan istrinya di hadapan orang lain."
"Hmm, suami? Perempuan munafik itu sama sekali tidak mengenal laki-laki yang berjabat tangan denganku. Apakah pantas disebut pernikahan?" Pemuda itu tersenyum mengejek. Lalu menyandarkan punggung di sandaran sofa.
"Ingat Zafran, ucapan suami akan berpengaruh pada status kalian. Hati-hatilah saat berbicara!"
Laki-laki yang dipanggil Zafran itu mendengkus. Kembali ditegakkan punggungnya. Menatap tajam pada temannya yang duduk berseberangan terhalang meja kayu.
"Apakah harus aku ingatkan sebab aku menikahinya?"
Dua pemuda lain yang fokus dengan telpon genggam berpaling pada perdebatan temannya. Terdengar kekehan dan nada sumbang dari mereka.
"Jangan permainkan pernikahan, Zafran!" peringatnya.
"Sepertinya, kamu harus mengingatkan Raihan sebelum teman kita yang satu ini mendadak amnesia." Pemuda berambut gondrong bangkit dari duduknya. Mendekati Raihan dan menepuk pundaknya.
Zafran terkekeh. Ia pun mendekati dua sahabatnya itu. Berdiri dengan dua tangan mencekal pinggang.
"Ingat Han! Semua tak lebih dari permainan. Memberi pelajaran pada gadis sok sholeha itu. Dan menikahinya demi memenangkan taruhan dengan laki-laki yang berlagak jagoan itu. So aku berhasil! Sebentar lagi, motor kebanggaannya menjadi milikku."
Raihan melengos.
"Sepertinya, kamu tak rela melihat keberhasilanku mendapatkan gadis itu. Kamu menyukainya? Tenang, sebentar lagi kamu akan mendapatkan bekasku. Setelah kunci Ducati berpindah tangan, segera kuceraikan dia."
Mereka terperanjat. Fokus dan percakapan empat sahabat itu pun berhenti, saat bunyi benda jatuh membentur lantai. Tatapan empat pasang mata pun beralih pada sumber suara. Tampak rantang stenlis tertelungkup di ubin dengan isinya yang telah berhamburan. Nasi, lauk, dan aneka sayur berserakan. Sementara itu, tangan yang tadi membawa tempat makan tersebut bergetar dan menggantung di depan dada.
Di sana, di depan pintu yang terbuka lebar, berdiri perempuan muda bergamis peach dengan hijab syari senada. Ia terpaku, wajah putih bersih yang selalu bersinar terlihat pias. Dan air mata, mengalir deras di pipinya nan tirus.
"Aida!"
Empat pemuda itu terlonjak. Dari bibir mereka, bersamaan memanggil nama perempuan yang berlari menjauh, membawa luka.
Zafran tercenung, akal sehatnya belum mampu mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.
"Kejar Aida!" Raihan menepuk pundak Zafran.
"Agh, bre***ek!" Zafran memaki dengan kepalan tangannya meninju di udara.
***
Aida terus berlari. Kenyataan ini menyakiti hatinya. Zafran yang ia percaya untuk menitipkan hati dan menggantungkan harapan, tak lebih dari seorang pecundang. Menganggap rendah pernikahan mereka dan meremehkan harga dirinya di hadapan teman laki-laki tersebut.
Setengah berlari, Aida menapaki satu persatu anak tangga. Menyeruak keramaian di antara orang-orang yang silih berganti berpapasan. Tatapan penuh tanyapun ia abaikan. Bak orang linglung, gadis muda itu terus melangkah.
Lantai demi lantai berhasil ia lewati. Sekarang, di sinilah Aida berada. Rooftop lantai lima yang terdapat di salah satu gedung kampus.
Gadis muda itu menyurukkan tubuh mungilnya di salah satu sudut yang terhalang tumpukan bangku bekas. Duduk di lantai bersemen kasar. Membungkukkan badan, menyembunyikan kepala di antara dua lutut yang menempel. Sementara kedua lengannya merengkuh kuat tungkai yang terus bergetar.
Tubuh ringkih itu terguncang hebat. Sedu sedan dan rintihan kecil keluar dari bibir tipisnya. Tak henti gadis itu meratapi nasibnya.
Rasa nyeri terus merambat, menjalar di ulu hati. Sesak di dada membuat napas tercekat di tenggorokan. Meluapkan sakit, kepalan tangan mungilnya meninju lantai bersemen kasar. Perih di buku jari tak lagi dirasa. Lecet dan pasir-pasir kecil yang menancap di daging tak mampu mengalahkan luka hati yang tak nampak. Tarian daging kecil yang terdapat di dalam mulut sang kekasih, mengalahkan tajamnya samurai.
Berkali-kali Jeritan benda canggih yang berasal dari tas punggung pun diabaikan. Gawai itu terus memanggil. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab terpampang di layar. Diraihnya benda pipih tersebut. Menekan tombol, seketika tampilan pun menjadi gelap. Sunyi!
Aida semakin tergugu. Berniat memberi kejutan dengan menemui kekasihnya di markas, ruangan BEM yang terletak di lantai dua. Justru kenyataan pahit yang ia dapatkan. Mengurai rahasia dan teka-teki rumah tangganya.
Tangan lembut itu mengusap perut nan rata. Sebongkah daging tumbuh di sana. Menumpang hidup hingga kuat dan siap dilahirkan ke dunia. Buah cintanya dengan laki-laki yang bernama Zafran Al Katiri. Cinta? Ya, hanya ia yang memiliki rasa itu. Berbanding terbalik dengan lelakinya. Menganggap ikatan suci tak lebih dari ajang taruhan. Pantaskah ia menyesali pernikahan siri yang telah mereka lakukan?
Tangis Aida semakin pilu. Membayangi kehidupan si buah hati. Akankah darah dagingnya mengalami nasib yang sama? Ketiadaan kasih sayang orang tua dimasa tumbuh kembang.
***
Jangan lupa 💓 dan komentarnya. Thank's
Bersambung
Silahkan Mampir di KBam App dan Joylada, Sang Mantan posting sudah sampai Part 25.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan (Proses Penerbitan)
Spiritual"Aida mohon, jangan sentuh! Abang pulanglah!" Aida melembutkan suara. Berharap laki-laki itu tersentuh hatinya. "Sekedar sentuhan kulit, kamu enggan. Bahkan lebih dari inipun, bisa aku lakukan!" Kembali keegoisan menguasai pikiran Zafran. Penolakan...