Setelah sholat subuh, dengan laptop di pegangan Aida melangkah ke luar kamar. Tenggorokan yang kering, membuat Aida duduk sejenak di meja makan. Sembari mengitari seisi rumah dengan bola matanya, ia menuang dan meneguk habis air di dalam gelas.Usai melepaskan dahaga, Aida menarik nafas pelan. Menyiapkan ancang-ancang untuk bangkit dari kursi. Penuh kehati-hatian ia pun berhasil menegakkan tubuh di samping meja. Dengan satu tangan bertumpu di alas meja dan satu tangan lainnya memegang pinggang yang terasa kaku dan panas. Kehamilan kembar yang dialami Aida, membuat perutnya lebih besar dari usia kandungan rata-rata. Dan itu cukup menghambat gerak tubuh mungilnya.
Dengan langkah pelan Aida berjalan menuju taman belakang. Udara subuh hari yang masih mengembun dan bersih, memenuhi rongga paru-paru Aida. Lega! Setelah memposisikan bawaannya dengan aman, Aida pun merenggangkan kedua tangan. Meraup udara sebanyak mungkin.
Silauan matahari pagi menyorot Aida. Perempuan hamil yang tertidur di kursi itupun seketika membuka mata. Rencana dengan membawa pekerjaannya ke halaman belakang gagal sudah. Ternyata, hembusan angin mampu merayu matanya untuk mengatup rapat.
"Assalammualaikum Sayang! Selamat pagi! Bagaimana kabar anak-anak bunda hari ini?"
Aida meringis, usapan dan sapaannya seketika mendapat sambutan dan reaksi dari kedua buah hatinya. Menyebabkan perut Aida berguncang hebat.
"Non Aida sudah bangun? Tidurnya pulas banget. Ibuk mau bangunin untuk pindah ke kamar, kok rasanya ndak tega."
Buk Nur menyapa Aida yang muncul dari pintu belakang. Sementara yang ditegur hanya tersenyum simpul.
"Ibuk masak apa?"
Aida mendekati Buk Nur yang terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di dapur.
"Non Aida mau di masakin apa?"
Buk Nur menghentikan kegiatannya yang sedang menguliti bawang. Sesaat, menoleh pada Aida yang berdiri di ujung kamar.
Aida menggeleng.
"Apa aja yang Buk Nur masak, pasti Aida makan!"
"Tapi ... apa Non Aida nggak kepingin makan sesuatu? Atau ... Non nggak pernah ngidam seperti ibu-ibu hamil yang lainnya?"
Aida tersenyum mendengar pertanyaan Buk Nur. Pastinya keinginan itu ada. Namun, ia tidak mau membuat repot asisten rumah tangganya.Apa lagi jika yang ia inginkan, tidak tersedia bahannya di lemari pendingin. Belum lagi keterbatasan yang mereka miliki.
"Ayuk, Non Aida ingin makan apa? Biar ibuk belanjakan." Buk Nur masih merayu, berharap Aida menyebutkan keinginannya.
"Nggak usah Buk, masak yang ada aja! Kita harus menghemat uang, jangan sampai nanti karena penuhi keinginan Aida, uang belanjanya habis dan Buk Nur nggak bisa masak."
Seseorang yang berdiri di ujung tangga tersontak mendengar ucapan Aida. Apakah Aida menahan keinginan makanannya selama ini demi menghemat uang? Memang, akhir-akhir ini ia jarang pulang, hingga sering kali telat memberi belanja dapur buat Buk Nur. Tapi, bukankah ia selalu mengisi saldo ATM yang ada di tangan Aida? Bahkan, kredit card yang dipegang mantan istrinya itu, nggak pernah ia minta untuk dikembalikan. Dan pastinya, Aida bisa gunakan itu untuk memenuhi segala kebutuhannya. Malahan lebih dari cukup.
"Aida!"
Aida membalikkan badannya saat mendengar Zafran memanggil.
"Ya Bang!"
"Hmm, ATM sama kredit cardmu mana?" Zafran mendekat. Tanpa basa-basi dan mimik datar, ia menelisik wajah Aida.
"Ada Bang!" jawab Aida menunduk sembari mempermainkan jari-jarinya.
"Mana?"
"Aida simpan di laci meja hias."
Kening Zafran mengernyit mendengar jawaban Aida. Telunjuknya mengarah ke lantai atas dan Aida pun mengangguk.
"Kenapa ada di sana?"
"Aida merasa tak berhak lagi untuk menggunakannya."
Zafran terpana. Masih adakah gadis seperti ini di dunia? Begitu saja menyia-nyiakan peluang di depan mata.
"Selama ini, kamu hidup dengan apa?"
Nada suara Zafran meninggi, rahangnya terlihat menegang dengan gemeletuk gigi yang terdengar jelas.
"Dengan uang belanja yang Abang berikan pada Buk Nur."
"Untuk kebutuhan kamu?"
"Aida punya sedikit tabungan."
"Cukup?"
Tak ada suara, hanya anggukkan yang Aida berikan pertanda pertanyaan Zafran sudah terjawab.
"Bagaimana dengan jadwal periksa rutin kandunganmu?"
Aida terdiam, kepalanya menunduk dalam.
"Jawab Aida Jasmin!" Suara Zafran semakin dingin. Aura kemarahan terlihat jelas dari bola matanya yang memerah. Kedua telepak lebar itu mengepal di belakang punggung.
"Jawab Aida! Kamu punya mulutkan untuk bersuara?"
Tubuh Aida bergetar. Mendapati kemarahan Zafran di pagi hari ini. Membuat pelipisnya basah. Buliran sebesar biji jagung mengalir deras. Begitupun dengan telapak tangan Aida. Dingin!
"Buk Nur, tolong ambilkan kedua kartu yang dimaksud."
Dengan berlari tergopoh Buk Nur menuju kamar utama yang terdapat di lantai atas.
Zafran melangkah ke ruang makan, duduk dan menenggak teh hangat yang disajikan Buk Nur untuknya.
"Duduk Aida!"
Mendengar perintah Zafran, nyali Aida semakin ciut. Dengan kepala yang masih menekuri lantai, ia mendaratkan bokongnya di hadapan laki-laki yang masih mengenakan pakaian olah raganya. Kedua telapak tangan Aida saling berkait, menggenggam di depan dada. Menyembunyikan kegugupannya.
Suasana hening mencekam. Tak ada yang bersuara. Mereka larut akan fikiran masing-masing.
Tak lama Buk Nur datang. Membawakan apa yang diperintahkan Zafran. Dengan amarah yang memuncak, laki-laki itu menghempaskan kedua kartu tipis berlogo bank swasta kenamaan di atas meja kaca.
"Dasar perempuan bodoh! Apa maksudnya semua ini? Kamu fikir, aku laki-laki yang lari dari tanggung jawab? Tak sanggup memberimu makan? Begitu? Sepuluh orang macam kamu, mampu aku hidupi!"
Amarah Zafran meluap. Ia tak dapat lagi memilah dan menahan kata yang terucap dari bibirnya. Laki-laki itu tak perduli, semburan amarahnya akan menyakiti perempuan berhati lembut yang ada di hadapannya.
"Bangun! Persiapkan dirimu! Hari ini kita ke dokter. Aku tak mau terjadi sesuatu dengan anak-anakku. Jika mereka dalam keadaan tak baik, maka kamu bersiap untuk menerima segala resiko."
Aida tertegun. Ancaman Zafran membuat nyalinya semakin terhempas. Jatuh, jauh ke jurang terdalam.
"In shaa Allah mereka sehat, Bang!" Dengan gugup dan takut-takut Aida membantah prasangka Zafran.
"Dari mana kamu bisa yakin?" Zafran menatap Aida remeh.
"Setiap bulan, Aida rutin periksa kandungan ke puskesmas. Bahkan, mereka berdua pun mulai aktif dan bergerak lincah." Tanpa beban, pembelaan Aida mengalir lancar dari bibirnya. Namun perempuan yang tengah berbadan dua itu tidak menyadari. Ucapannya, sukses membuat amarah Zafran kian menggelegak.
Zafran tertegun. Puskesmas? Seumur hidup ia tak pernah menginjakkan kaki ke sana. Selama ini, dokter langganan dan rumah sakit terkenal menjadi langganan keluarga besarnya. Sekarang, cucu pertama dari keluarga Al Katiri mendapatkan pelayanan dari tempat seribu umat itu?
Zafran mendengkus! Apakah Aida tidak tahu siapa keluarga besarnya? Keluarga Al Katiri di kalangan pebisnis dan pengusaha dunia. Benar-benar gadis naif.
Zafran bangkit dari duduknya. Tangan yang sedari tadi mengepal ia layangkan pada dinding yang terdapat di samping meja. Ia menjerit, membuat Aida ketakutan dan setengah berlari masuk ke kamarnya.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan (Proses Penerbitan)
Spiritual"Aida mohon, jangan sentuh! Abang pulanglah!" Aida melembutkan suara. Berharap laki-laki itu tersentuh hatinya. "Sekedar sentuhan kulit, kamu enggan. Bahkan lebih dari inipun, bisa aku lakukan!" Kembali keegoisan menguasai pikiran Zafran. Penolakan...