"Assalammualaikum."
Aida melangkah pelan, membuka dan melewati pintu berbahan kayu jati yang berdiri kokoh di depan rumah. Seorang perempuan paruh baya, berlari tergopoh mendekati sang nona majikan. Dengan serbet kotak-kotak yang tersampir di bahu kanan, ia berdiri di depan Aida.
"Waalaikumsalam."
"Buk Nur, tolong rapikan semua pakaian dan perlengkapan Aida yang ada di kamar utama! Setelah itu, simpan di kamar tamu." Sembari menyentuh pundak sang asisten, dengan suara pelan Aida memberikan perintah.
Asisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu itu terdiam. Banyak makan asam garam kehidupan, membuat ia paham. Ada sesuatu yang terjadi pada pasangan muda ini. Tanpa bersuara, ia pun segera berlalu. Menapaki satu persatu anak tangga, menunaikan permintaan Aida.
Sepeninggal Buk Nur, Aida melangkah menuju satu-satunya kamar yang terdapat di lantai bawah. Menelisik setiap sudut ruangan. Merebahkan tubuh yang lemah di ranjang busa, yang tentu saja berukuran lebih kecil dibanding kamar utama.
Mata Aida menatap langit-langit kamar. Pandangannya menerawang jauh tak terjangkau. Manik itu tak beralih, terpatri pada satu titik noda hitam yang entah dari mana asalnya.
Perlahan sukma Aida kembali. Setetes butiran yang menitik di kedua ujung mata disapunya. Bukan mengering, air itu semakin deras mengalir. Membanjiri, merembes hingga ke sudut telinga. Tubuh Aida berguncang hebat! Rintihan dan isakan lolos dari bibir nan mungil. Tak mau tangisannya terdengar keluar, Aida memiringkan badan. Menyurukkan kepala dan meredam suara di atas bantal yang mulai basah.
Tangis Aida mulai mereda. Perlahan, ditempatkan telapak tangan kanannya di atas perut nan masih rata. Melakukan gerakan mengusap lembut. Kisaran tujuh bulan kedepan, jika tak ada aral melintang, dua kantong janin ini akan menjadi penghuni dunia. Aida meragu! Sebagai orang tua tunggal, mampukah ia menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan Sang Pemilik Kehidupan?
"Allah bimbing hamba, tetapkanlah kami di jalanmu yang lurus!"
Dua puluh menit berlalu. Usapan tangan Aida melemah. Mata yang terasa berat pun menyerah, mengatup pelan menuju alam mimpi.
***
Lima belas menit menjelang pukul satu siang. Aida menatap lekat benda bundar yang menggantung di dinding ber cat biru langit. Manik matanya terpatri pada pergerakan jarum kecil nan tipis yang terus bergerak. Memutari barisan angka dan kembali ke titik semula. Akankah hidupnya seperti itu? Kembali dimana ia dan Zafran hanyalah dua orang asing yang tidak saling mengenal. Bedanya, hubungan mereka menghasilkan dua nyawa. Janin yang diduga kembar setelah melewati proses pemeriksaan oleh spesialis ginekolog.
Hingga saat ini, belum ada pembahasan tentang janin di perut Aida. Pada saat penjelasan dari sang ahli, Zafran hanya terpaku diam. Laki-laki yang berumur dua puluh dua tahun itu menatap lekat pada kertas tebal hasil print USG.
Aida mendesah. Tepatkah keputusannya untuk bertahan di rumah ini hingga ia melahirkan? Yang mana merupakan batas Iddah bagi seorang perempuan hamil saat ditalak sang suami.
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS ath-Thalaq ayat 4)
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (QS at-Thalaq ayat 1).
Bunyi sumbang mengalihkan perhatian Aida. Dengan sedikit bermalas-malasan, ia bangkit dari peraduan. Menapaki kaki di lantai nan dingin, melangkah keluar, menuju kamar mandi. Tepat di depan pintu, ia terpaku. Seseorang yang duduk di meja makan beradu pandang dengan tatapnya.
"Non Aida mau makan?" Buk Nur yang sedang merapikan meja, melangkah mendekati Aida.
"Aida mau sholat dulu Buk. Nanti biar Aida ambil sendiri."
Aida melanjutkan langkah ke kamar mandi. Sejuknya air yang membasahi sela jari, membuat calon ibu muda itu sedikit lebih tenang. Deburan jantung akibat bertemu pandang dengan Zafran pun mulai mereda. Setelah satu persatu anggota wudhu Aida tercuci bersih, segera ia kembali ke kamar. Sepanjang langkahnya ia terus menekur. Seolah menghitung petakan ubin bermotif abstrak yang menempel di lantai.
Aida menghentikan langkah. Matanya tertumbuk pada sepasang kaki yang berjarak satu petakan ubin di hadapan. Aida menggeser langkah ke kanan. Seperti pengikut, kaki tanpa alas itu mensejajarkan posisi mereka.
Tanpa mengangkat kepala, Aida bersuara. "Maaf Bang! Aida dalam keadaan berwudhu. Bisakah Aida lewat?"
"Angkat kepalamu! Aku bukanlah monster berwajah seram yang harus ditakuti." Geram Zafran memerintah. Melihat tingkah dan gerak-gerik Aida yang kembali seperti saat mereka sebelum menikah, membuat laki-laki itu merasa terabaikan. Egonya terluka!
"Maaf Bang! Aida harus segara sholat!"
"Angkat kepalamu." Emosi Zafran seperti tak terkendali. Dikarenakan hal kecil, ia menaikkan nada suara.
Aida mengangkat kepala dan melengoskan pandangan. Seperti enggan bersetatap dengan makhluk yang berdiri di depannya.
"Aida, lihat aku! Tatap mataku!" Intonasi Zafran semakin meninggi. Menggelegar di ruangan yang tak seberapa luas.
Aida menarik mundur tubuhnya yang bergidik ngeri. Berbanding terbalik dengan Zafran yang melangkah maju, memangkas jarak antara mereka.
"Ja—jangan mendekat, Bang! Aida takut!"
Suara Aida yang gagap dan bergetar membuat Zafran terpana. Perempuan yang terbiasa dan nyaman saat bergelayut manja di bahunya berubah. Apakah ia pembawa virus berbahaya? Hingga takut bersentuhan dengannya.
"Kenapa?"
"Apakah Aida mesti mengingatkan kembali tentang kita?" Bukannya menjawab, Aida malah berbalik tanya.
"Tak perlu! Kamu tahu pasti keadaan kita. Akan tetapi, kenapa masih bertahan di sini! Di rumah ini!"
Aida memutar kepala. Sekilas, sepasang manusia yang pernah terikat pernikahan beradu pandang.
"Silahkan Abang pelajari hak dan kewajiban seorang perempuan ketika dijatuhi talak oleh suaminya! Aida hanya menjalankan aturan tersebut. Jika Abang menyuruh Aida keluar dari rumah ini, dengan ikhlas akan Aida lakukan segera."
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Mantan (Proses Penerbitan)
Espiritual"Aida mohon, jangan sentuh! Abang pulanglah!" Aida melembutkan suara. Berharap laki-laki itu tersentuh hatinya. "Sekedar sentuhan kulit, kamu enggan. Bahkan lebih dari inipun, bisa aku lakukan!" Kembali keegoisan menguasai pikiran Zafran. Penolakan...