35 : 7 × 5 + 10

163K 32.6K 23.8K
                                    

Rasanya seperti campuran nikotin dan sedikit mint.

Jejemari yang menahan tengkuk, menyelusup ke sela-sela ikatan rambut, mendesak gadis itu lebih dekat, rasanya seperti putus asa. Seperti sudah pernah kehilangan dan baru saja menemukan.

Ekspektasi, harapan, mimpi— adalah hal-hal paling mendasar yang bisa menyakiti hati manusia.

Re sudah belajar untuk tidak berekspektasi, untuk tidak berharap, untuk tidak bermimpi. Re sudah pernah jatuh, dan dia tidak menginginkannya lagi. Tapi kemudian Kai datang dan mengatakan bahwa sekacau apa pun dunia Re.. gadis itu tidak akan pergi.

Tidak seperti ibunya yang melempar surat cerai dan ayahnya yang menandatangani kontrak kerja ke luar negeri.

Meski Re sudah memperlakukannya dengan egois, meski di antara dua pilihan yang sama penting, Re tidak memilihnya.. Kai tetap kembali, seolah Re tidak berbuat kesalahan, seolah dia memaafkannya begitu saja, seolah dia menyukai Re apa adanya, beserta segala ketidaksempurnaannya.

Kai adalah ekspektasi, harapan, sekaligus mimpi yang Re takutkan. Gadis itu adalah seseorang yang tidak ingin Re temukan karena dia tidak sanggup jika harus kehilangan.

Setidaknya itu yang memenuhi otak Re sebelum Kai mendorong dadanya.

"CCTV," Gadis itu berkata terengah. "Ada CCTV di sini."

Re mengatur napas, menurunkan jemarinya dari tengkuk Kai. Pandangannya beralih ke pintu ruang kepala sekolah yang tertutup rapat, kemudian ke kamera pengawas di langit-langit sudut koridor.

"Infrared-nya mati," vokalnya merendah sewaktu dia memberitahu Kai.

Gadis itu memejamkan mata dan mengembuskan napas lega, ujung jemarinya bertahan di dada Re, merasakan debar jantung laki-laki itu dari balik seragam.

"Lo.. cowok paling brengsek yang pernah gue kenal.."

Kai tidak berani mendongak, jadi dia memfokuskan diri pada seragam Re yang tanpa atribut dan dua kancing teratasnya terbuka, degup jantungnya sendiri berkejaran. Kupu-kupu beterbangan di perutnya tak kunjung hilang.

"Bisa-bisanya.. bisa-bisanya lo.."

Nadanya yang kesal sekaligus malu membuat Re kembali menatapnya lekat. Kai, dengan ekor kuda yang melonggar, beberapa anak rambut lolos ke sisi kepala, hitam legam yang tampak kontras di sebelah pipi putih yang merona, dan kerucut kecil di bibirnya.

Cantik.

Jemari laki-laki itu bergerak refleks, menyelipkan anak rambut Kai ke belakang telinga.

"Oksitosin."

Re menjawab, selugas jawaban yang selalu dia berikan di kelas.

"Hormon yang bertanggung jawab sama tindakan yang cenderung dilakuin manusia waktu jatuh cinta."

Kai mengangkat wajah.

Dua netra hitam yang polos dan berkilau itu bertemu dengan cokelat gelap yang telanjur kacau seperti sebuah ledakan kembang api di angkasa malam. Seperti sebuah garis lintang yang menyalahi koordinat. Seperti sebuah improvisasi dalam rencana. Seperti sesuatu yang perlahan tapi pasti, menghancurkan seluruh arogansi dan egoisme yang Re miliki.

"Jadi maksudnya yang salah oksitosin, bukan lo, gitu?"

Sudut bibir Re naik.

"Bisa-bisanya lo masih cari-cari alesan di saat kaya gini? Kalo tadi CCTV-nya nggak mati, lo mau apa? Hah?"

Gue juga sayang lo.

"Kai," Re justru mengabaikan amukan sebelumnya, memasukkan satu tangan ke saku celana, dan menggenggam jemari Kai dengan tangan yang lain, "..pacaran beneran, mau?"

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang