(39 - 26) × 3 ÷ log10

178K 32.8K 22.2K
                                    

tips:

bab ini bakal panjang, sekitar 4k. pastiin posisi kamu udah paling nyaman dan bacanya pelan-pelan ajaa karena butuh banyak berpikir, hehe. happy reading! <3

.

Seumur hidupnya, Kenan selalu tahu cara memosisikan diri.

Sebagai ketua kelas yang disegani teman sekelas, sebagai Ketua OSIS yang diandalkan pengurus, sebagai murid yang dibanggakan guru, atau sebagai atlet yang diidolakan penggemar- Kenan selalu tahu bagaimana harus bersikap.

Kenan mengontrol setiap perkataan serta tindakan yang dia perbuat, dan mungkin itulah yang membuatnya terlihat sempurna. Dia bisa jadi teman yang baik, rekan tim basket yang jago, atau guru yang sabar. Kenan bisa jadi apa pun yang dia mau.

Tapi saat bersama Ale, seluruh pemikiran itu bahkan tidak pernah menyentuh permukaan benaknya. Kenan tidak perlu jadi apa pun saat bersama Ale. Dia tidak perlu jadi sosok yang sempurna karena Ale sudah mengenal bahkan merawat luka-lukanya.

Tapi bukankah justru itu masalahnya?

Karena Kenan tidak pernah susah payah memikirkannya, karena Kenan tidak pernah susah payah memosisikan diri, karena berada di dekat Ale terasa begitu mudah dan nyaman, dia juga tidak tahu apa hubungan mereka sebenarnya.

Apakah dia tetangga yang baik? Apakah dia sahabat yang pengertian? Apakah Kenan adalah rumah bagi Ale, sama seperti gadis itu adalah rumah bagi Kenan?

Seluruh pertanyaan itu mendadak menenggelamkannya dalam satu malam. Seluruh perasaan asing yang memenuhi dadanya ketika dia mendengar vokal pelan Ale-

"Emang bego sih.. tapi buat gue, laki-laki di dunia ini cuma satu."

-membuatnya benar-benar berpikir bagaimana relasi mereka sudah terlalu jauh untuk hanya disebut teman.

"Cuma Kenan."

Hal itu masih menghantuinya bahkan sampai matahari kembali mengudara dan dirinya bersiap untuk berangkat ke sekolah. Kenan mengeluarkan motor pukul setengah tujuh tepat, persis ketika Ale keluar dari rumahnya dan menghampiri seperti biasa.

"Tumben murid teladan bangun kesiangan."

Gadis itu mengejek sembari mengawasi Kenan mengunci gerbang dan menaiki motor. Jemarinya sendiri sibuk memasang helm di kepala.

"Aurora udah duluan tadi, dijemput supirnya. Gue ditawarin bareng sih, tapi gila aja. Bayangin gue turun di parkiran trus satu sekolah syok gara-gara-" Ale berhenti mengoceh, keningnya berkerut. "Ken?"

Kenan yang juga sedang memasang helm menoleh. "Hah?"

"Dasi lo ke mana?"

Laki-laki itu otomatis menunduk, menyadari tidak ada dasi yang biasanya terikat rapi di kerah seragamnya. "Oh, lupa."

"Eh, udah gausah balik lagi!" Ale menahan lengan Kenan. Gadis itu melepas dasinya sendiri dengan satu tarikan dan mengalungkannya ke leher laki-laki itu. "Gue ada UH Bu Susi, kalo telat nilainya dikurangin. Mana kemaren gue udah disuruh keluar kelas! Anjing banget ga tuh? Lo bayangin..."

Tapi cerita Ale selanjutnya hanya terdengar samar-samar di telinga Kenan. Pandangan laki-laki itu sudah keburu jatuh pada bulu mata Ale yang lentik, serbuk bedak di ujung hidungnya, dan bibirnya yang sedikit kering.

Aneh. Kenan tidak pernah memperhatikan detil itu sebelumnya.

"...ya udah abis itu gue disuruh keluar kelas, trus gue tinggal ngantin deh."

Dasi itu selesai disimpul.

"Nggak serapi lo biasanya sih, tapi benerin di sekolah aja daripada telat."

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang