46 ÷ (34 + 12) × 46

166K 29.7K 21.4K
                                    

"WOI, MINGGIR!"

Seruan itu diiringi serentetan nyaring klakson dari sedan putih yang melaju dengan kecepatan penuh. Di jok pengemudi, rambut Io sudah resmi berantakan. Kaos hitam polos melekat di tubuhnya yang sedikit berkeringat. Entah karena mereka sedang dikejar selusin bodyguard, atau karena AC mobil yang membuat aroma sigaret, alkohol, dan parfum maskulin semakin menguar kuat— Aurora jadi pusing.

Yang saat ini ada di pikiran gadis itu cuma: Bramantyo Sadewa keren banget sialan.

Dan, iya, ini masih Aurora yang sama yang beberapa jam lalu tahu papanya selingkuh, dia punya saudara lain ibu, ditambah lagi alasannya belajar mati-matian selama tiga tahun adalah untuk menyaingi Ale (iya, saudara Aurora ternyata Ale), satu-satunya cewek yang sejauh ini bisa dia anggap teman sefrekuensi.

Tapi semua itu terasa kabur sekarang, gara-gara Io menginjak gas, menekan klakson, dan membanting setir dalam waktu bersamaan.

Tahu-tahu saja setelah mengebut hampir sejam lebih, mereka berhasil lolos ke daerah pinggiran Jakarta dan sedan-sedan hitam di belakang akhirnya menghilang.

Baru Aurora bisa bernapas, sementara Io melirik spion tengah, memastikan keadaan aman, sebelum akhirnya memelankan laju mobil. Tengah malam sudah lewat. Tapi sepertinya tuan putri tidak punya niatan kembali ke istana, jadi dia hanya menghela napas panjang dan memejamkan mata, mendengarkan detak jantungnya sendiri yang belum tenang-tenang juga.

"Ra?"

Panggilan khawatir itu membuatnya membuka mata.

"Lo gapapa, kan?"

Yang ditanya hanya menggeleng. Pandangan Aurora dialihkan kembali ke jalanan yang terasa familiar. "Ini... jalan ke jembatan penyeberangan itu, Kak?"

"Iya." Io memberi anggukan sembari mengambil belokan pertama. Memilih jalan berputar supaya tidak mudah terlacak. "Tapi sayang... kita nggak bisa ke sana."

"Oh?" Aurora menoleh. "Kenapa?"

"Areanya ditutup." Io menyahut. "Pemilik tanahnya ganti."

Kening Aurora berkerut. "Terus... balapan tahun ini gimana dong?"

"Ya... ini masih proses survei tempat baru. Makanya gue di Jakarta."

Butuh beberapa detik sebelum Aurora terkoneksi. "Hah? Ngapain lo ikutan survei tempat?"

"Itu... gue ditarik jadi panitia."

"Kak!" Gadis itu menegakkan tubuh. "Lo gila ya?"

Io nyengir kalem. "Bentar, denger dulu... nih ya, gue setuju soalnya gue rasa ini kesempatan emas buat kenal lebih deket sama orang-orang yang dulu cuma bisa gue liat dari jauh, Ra. Kapan lagi kan, ngobrolin mobil langsung sama mereka?"

"Iya, kapan lagi lo masuk penjara juga?" sarkas yang lebih muda, kedua lengannya dilipat di depan dada. "Yang waras-waras aja lah, Kak. Ini tuh acara ilegal. Kalo ada apa-apa gimana? Lo kan udah mau semester akhir, mending urusin tuh skripsi lo."

Io refleks tertawa.

"Apa yang lucu?"

Laki-laki yang lebih tua itu tersenyum miring, masih menatap jalanan. "Lucu tau, diingetin skripsi sama bocah SMA yang lagi kabur dari rumah terus dikejar-kejar bodyguard-nya."

"Gak ada lucu-lucunya."

Tawa Io makin lepas. Ada jeda beberapa menit sebelum akhirnya dia menoleh, bertanya penasaran, "Kok lo nggak nangis sih, Ra?"

"Ya lo mau gue nangis?"

"Ck, enggak gitu, cantik... galak amat dah," ledek Io yang langsung dibalas satu putaran mata, "Maksud gue, terakhir kali ada sesuatu yang nyakitin lo, lo ngabisin tisu kotak gue, inget? Nah, kenapa sekarang lo santai aja?"

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang