(13 + 26) : 3 = y

171K 29.1K 5.6K
                                    

.

"Ada urusan apa lo di sini sama adek gue?"

Hal pertama yang Kai lakukan adalah buru-buru bangkit dari kursi.

Re masih mengenakan seragamnya yang berantakan, mencangklong ransel abu-abu di satu pundak, dan menatap Kai dengan tatapan intimidatif seperti biasa.

"Adek lo?"

Pertanyaan itu retoris, tapi setidaknya mewakili keterkejutan Kai. Mana mungkin bocah selugu Jo adalah adik si.. si berandal ini?

"Mas kenal?"

Suara polos Jo menyela adu pandang di antara mereka berdua. Re mengalihkan matanya dari Kai, kemudian menatap Jo dengan sorot seratus kali lipat lebih lembut.

"Jo, abisin pudingnya dulu gih. Mas mau ngobrol bentar sama kakak ini, ya?"

Kai melongo. Kalem banget!

"Kita ngomong di luar."

Re kembali menatap Kai datar. Laki-laki itu memimpin langkah ke luar ruangan. Kai mengikutinya dengan waswas. Mereka akhirnya sampai di koridor. Re menutup pintu kamar dengan rapat.

"Jadi?"

"Jadi?"

"Jadi lo ngapain di sini?"

Kai tersadar. Anjir! Dia tidak punya alasan. Tadinya dia memang salah masuk kamar, tapi tidak mungkin dia bilang begitu pada Re, kan? Pasti kelihatan bego banget!

"Kalo ada orang nanya, dijawab. Jangan malu-maluin sekolah."

Kai terusik. Alisnya terangkat sebelah. "Apa hubungannya sama sekolah?"

"Ya lo masih pake seragam. Bawa almamater. Tanggep, jangan lemot."

Kan. Kai menyumpah dalam hati. Kan balik lagi jadi resek. Pas ada adeknya aja pencitraan.

"Apa pertanyaan lo?"

Re tampak malas. "Lo ngapain di sini, Kalypso?"

"Pertama, panggilan gue Kai, bukan Kalypso. Kedua, emangnya cuma lo yang punya hak dateng ke rumah sakit?" Gadis itu balas nyolot. Bicara sama Re memang harus nyolot, kalau tidak mau kalah suara.

"Pertama, gue nggak tanya siapa panggilan lo. Kedua, jawabannya nggak, pertanyaan lo retoris banget. Semua orang juga pasti punya hak ke rumah sakit," sahut Re datar. "Tapi masalahnya yang punya hak masuk kamar Jo cuma anggota keluarganya."

Kai membuka mulut sebelum menutupnya kembali. Oke, soal yang satu itu, dia memang salah. Sedikit.

"Gue cuma nemenin dia bentar," kilahnya. "Lagian lo juga ninggalin dia sendiri."

Re mengangkat alisnya sebelah. "Jadi kalo ada anak kecil nggak dikenal lagi sendirian di kamar RS, lo otomatis nemenin gitu?"

Kai mengembuskan napas keras. "Maaf, oke?" Bahunya dikedikkan. "Anggep aja ini nggak pernah kejadian. Bisa, kan?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Gue udah minta maaf."

"Pertanyaan gue normal. Gue mau tau alasan lo masuk kamar orang sembarangan kayak penculik."

Kai menekuk wajahnya sebal. "Gue bukan penculik."

"Ya udah terus apa alas—"

"Gue salah masuk kamar."

Alis Re terangkat sebelah.

Ya udah lah. Kai pasrah. Cowok ini tidak akan mau mengalah juga. Kalau pun mereka debat sampai besok pagi, sudah pasti Re bakal tetap ngotot. Dia benar-benar keras kepala.

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang