.
"Oke. Here's my story."
Persis di kalimat terakhir Re, Kai merasakan ritme detak jantungnya perlahan naik. Saking kecanduannya dia membaca buku-buku puisi, salah satu karya Stefany Chandra mendadak muncul di benak Kai tanpa aba-aba.
Aku ingin menyentuh perbatasanmu, tempat kau berhati-hati menyimpan rahasia. Akan kubagikan juga sedikit dari diriku, menukarnya dengan satu langkah lebih dalam.
"Tahun lalu, pertama kalinya Jo didiagnosis kanker otak, dia udah masuk stadium 3."
Re bercerita dengan nada datar, dan Kai mendengarkan. Laki-laki itu memilih untuk mengaburkan pandangannya pada lampu-lampu kota yang sudah mulai menyala. Memilih tidak menatap gadis di sampingnya.
"Setelah 20 tahun pernikahan yang bahagia, Ayah sama Ibu akhirnya bertengkar hebat. Punya anak yang sakit kronis sama sekali nggak ada dalam agenda mereka."
Kata-kata Re meluncur dengan mudah, tanpa tersekat.
"Lo tau, Kai, kebanyakan kanker otak muncul karena gaya hidup. Stres, ngerokok, kurang tidur, makanan nggak sehat, radiasi gagdet. Tapi Jo sama sekali nggak ngelakuin itu, so it's just didn't make sense for my parents."
Re mengangkat bahunya ringan.
"Ayah gue ilmuwan yang nggak akan pernah bisa berhenti sebelum nemu jawaban dari pertanyaannya. Dia riset, dan dia nemuin ada sekitar 5-10% kemungkinan kanker otak diturunin secara genetik. Cuma 5-10%, but he with his fucking curiousity langsung nyelidikin riwayat kesehatan keluarga Ibu."
Kai sedikit menelan ludah.
"Did.. he found something?"
Re mendengus.
"He did. That cancer was from my mother's family."
Ya Tuhan..
"Mereka berantem setiap hari. Setiap pulang sekolah, gue bakal disambut sama barang-barang pecah. Nggak lama, mereka mutusin buat cerai."
Tawa Re mengalun pelan, seolah yang dia katakan adalah hal paling bodoh sedunia.
"Cerai," sambungnya, "nggak sampe sebulan setelah diagnosis Jo keluar. Di saat anak-anak mereka lagi ada di titik terendah, mereka milih buat pisah."
Re menggeleng, seolah berusaha mengusir kenangan itu dari kepalanya.
"Gue bisa bilang keluarga gue sebelumnya keluarga sempurna, Kai. Tapi tiba-tiba, tanpa bisa gue cegah, semuanya ancur. Gue nggak pernah tau harus nyalahin siapa. Gue nggak pernah tau harus gimana. Gue marah, tapi kemarahan gue nggak ngubah apa-apa."
Re mengerling Kai, ingin tahu reaksinya. Tapi Kai tidak bergeming sama sekali, terlalu terperanjat.
"Seminggu setelah surat cerai keluar, di olimpiade terakhir yang gue ikutin, ada anak SMA negeri brengsek yang ngajak ribut. Dia bilang anak swasta menang finansial doang, nggak berbobot- bacotan anak negeri yang biasa."
Re kelihatan sedikit getir waktu mengucapkan yang satu ini.
"Tapi gue lagi nggak waras. Gue kebawa emosi, gue nganggep ucapannya serius, gue tonjok. Gue di-diss, tapi masalahnya nggak berhenti di situ. Dia menang di olimpiade itu, dan dia nantangin gue lagi. Gue tau harusnya gue nggak kepancing, tapi waktu itu gue nggak mikir dua kali. Gue kumpulin cowok-cowok dari semua sekolah swasta di Jakarta, dan nantang mereka tawuran. Lo mau tau alasan gue senekat itu?"
Re tidak menanti jawaban Kai.
"It was my death wish."
Laki-laki itu menelan ludahnya yang terasa pahit.

KAMU SEDANG MEMBACA
A+
Teen Fiction[TERSEDIA DI GRAMEDIA; PART LENGKAP] Ada 4 orang gila di SMA Bina Indonesia: 1. Re Dirgantara, peringkat paralel pertama. Bukan kutu buku seperti bayangan lo, karena dia lebih sering ikut tawuran daripada masuk sekolah. 2. Kenan Aditya, peringkat pa...