Bab 5

8 2 0
                                    

Malam berganti. Cahaya lilin menyapaku ramah. Aku keluar dari kamar, berharap dapat bertemu Elena secepatnya, sebelum Felix membawanya menyeberang. Pintu kamar baca terbuka lebar dan menguarkan aroma segar yang membangkitkan gairah. Aku melongok ke dalam. Elena sedang berdiri menghadap patung dewa kematian. Seperti benda mati itu, dia juga diam tanpa bergerak sedikit pun.

Aku menutup pintu pelan-pelan lalu mendekat dan berhenti tepat di belakang keduanya. Kusentuh pundak Elena yang terbalut kain halus, menyebabkannya terlonjak dan berbalik dengan cepat.

"Ah, maafkan saya," kataku.

"Anda mengagetkan saya," ujar Elena dengan suaranya yang merdu.

"Apa yang Anda lakukan di sini?" aku bertanya.

"Hanya melihat-lihat. Anda sendiri?"

"Saya ingin bicara dengan Anda. Saya ingin mengenal Anda."

Elena tersenyum simpul, cantik bagaikan bidadari kahyangan.

Kulirik sekilas patung di sampingnya. "Anda menyukai seni?"

Elena mengulurkan tangan, meraba sosok angkuh itu. "Ya, seni membawa saya ke alam keindahan. Gagasan yang diwujudkan sesuai bayangan yang ada di benak pembuatnya. Seperti ini. Apakah ini hasil karya Anda?"

Aku menggeleng.

"Saya yakin Anda dapat membuat sesuatu yang lebih bernilai daripada patung ini," ujar Elena.

"Saya tidak pandai dalam hal apa pun."

"Mengapa? Bukankah di negeri ini banyak seniman unggul?"

"Saya bukan dari negeri ini. Saya berasal dari Otranto, Italia."

"Tapi, Anda pasti punya kelebihan, bukan?"

"Mungkin." Aku mengalihkan pembicaraan, "Kalau saya tidak salah ingat Anda dari Venesia, bukan? Mengapa Anda meninggalkan kota indah itu?"

"Saya mendambakan perubahan. Hidup saya begitu hampa dan terkekang. Harapan saya telah sirna. Saya menginginkan kebebasan dan ingin memulai kembali dari awal."

"Mengapa Anda yakin perubahan itu dapat Anda peroleh di sini?"

"Apa maksud Anda?" tanya Elena.

"Apa yang Felix katakan kepada Anda?" aku bertanya.

"Banyak. Dia meyakinkan saya bahwa saya dapat menemukan kembali harapan-harapan itu di kehidupan yang baru."

Persis seperti yang Felix katakan kepadaku. "Apakah Anda sudah punya gambaran seperti apa kehidupan baru itu?"

"Saya masih memikirkan penjelasan tuan Felix. Dia banyak menggunakan perumpamaan yang kurang saya pahami. Tapi mengenai gambaran ...." Elena terlihat ragu. "Saya hanya melihat warna hitam. Apakah Anda tahu maksudnya?"

"Entahlah," jawabku. Sejenak kemudian aku kembali bertanya, "Apakah Anda menginginkan hal lain?"

Elena berpikir sebentar, kemudian menggeleng. "Ah, saya rasa itu mustahil," katanya sambil beranjak pergi.

Segera kupegang lengannya. "Dengar, tak ada yang mustahil. Jika Anda sungguh-sungguh, akan ada jalan untuk meraihnya."

Elena memandangiku sedemikian rupa. "Anda tidak akan mengerti."

"Percayalah, saya akan mengerti," aku meyakinkannya.

Elena menatapku beberapa lama lalu akhirnya berkata, "Saya ingin mati."

Kata-katanya mengguncang batinku. Sudah hampir seratus tahun aku tidak pernah mendengar kalimat itu. Sudah lama sekali aku tidak mendengar manusia yang menginginkan kematian. Selama hampir seratus tahun ini aku hanya mendengarkan kegembiraan, yang membuatku merasa mudah untuk membunuh mereka.

Menyeberang ke Kegelapan, Kisah KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang