Bab 19

2 1 0
                                    

Keesokan malamnya, aku menemukan Alexis dan Adrian sedang mengobrol di ruang depan utama. Victor juga ada di sana, melayani mereka seperti biasa. Saat melihatku, Alexis menyambutku dengan hangat sedangkan Adrian hanya memandangku tanpa bersuara.

"Jullian, bagaimana kabarmu malam ini?" Alexis tersenyum manis kepadaku. "Sudahkah kau memuaskan dirimu?"

"Sayang sekali, aku memutuskan untuk memberi kemerdekaan bagi manusia-manusia itu malam ini," jawabku, menyebabkan Alexis tertawa. "Kalian melihat Nicolae?" tanyaku lagi, yang kali ini dijawab dengan gelengan.

"Mungkin dia sibuk mengurusi sahabatnya," ujar Adrian dengan yakin. Suaranya terdengar rendah dan halus, tidak seperti biasa.

Aku memandangi Adrian, teringat manusia bernama sama yang sudah tiada di puri tua di Dobrogea. Aku terkenang sosok berwajah lugu yang memiliki tekad kuat di hatinya itu. Sosok yang rela mengorbankan nyawa demi pujaan hatinya. Sosok yang begitu berbeda dengan makhluk pucat yang tengah kupandangi.

"Kami sedang berdiskusi," kata Alexis. "Apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap Larisa dan Nicolae?"

"Ada apa dengan Larisa?"

Alexis memandangku heran. "Apa yang kau katakan pada Larisa setelah kau pulang bersama Master Felix?"

"Apakah ada masalah dengan Larisa?"

Alexis memandangku dengan sikap ragu sambil memainkan rambutnya. "Dia berubah. Benar-benar berubah. Mulai dari caranya melihatku sampai caranya berbicara denganku. Dan bukan hanya padaku, tapi pada Adrian juga. Kami pikir kau penyebabnya."

Aku menoleh ke arah Adrian, yang segera membenarkan kata-kata Alexis. "Benar. Dia berani menyebut nama kecilku. Berkali-kali pula."

Aku tersenyum mendengarnya. Larisa memenuhi permintaanku untuk bersikap ramah terhadap Alexis, bahkan juga terhadap Adrian.

"Aku hanya memintanya agar berbaikan denganmu."

Alexis tampak kaget mendengar jawabanku. "Mengapa? Aku tak keberatan kalau dia ingin memusuhiku selamanya."

"Lalu kenapa aku jadi terlibat?" tanya Adrian dengan penuh sesal. "Kau tahu, Julian, aku tak pernah menyukai Larisa. Semua kalimat yang sudah kuserap dari para pemuka masyarakat dan akan kuucapkan sirna begitu saja saat dia muncul di hadapanku."

Alexis melirik padanya dengan gaya mengejek. "Adrian, kau tak perlu mendengar ocehan mereka. Kau kan tahu semua itu omong kosong."

"Aku tak punya semangat membunuh kalau tidak mendengar kebohongan mereka," balas Adrian.

Tiba-tiba terdengar bunyi berdebum dari luar pintu depan, menyebabkan kami semua menoleh kaget ke sana. Nicolae. Melihatnya berjuang masuk sambil mengerang kesakitan, kami buru-buru menghampirinya. Di ambang pintu, Nicolae roboh tanpa daya. Darah mengotori tangan serta mantel hitamnya dan mengalir ke lantai. Seseorang telah melukainya, bahkan lebih parah! Darah tersebut berasal dari jantungnya, yang berarti orang tersebut berusaha membunuhnya.

Adrian cepat-cepat mengangkat Nicolae. Namun kami hanya berhasil membawanya masuk beberapa langkah, karena setelah itu dia roboh lagi. Adrian menahan lehernya dengan sebelah tangan. Aku bergidik marah melihat keadaan Nicolae. Sorot matanya begitu redup. Dia mencengkeram lengan Adrian kuat-kuat, seolah-olah menahan nyawanya yang hampir lepas. Satu demi satu dipandanginya kami. "Aku sudah membujuknya. Sungguh ... tapi dia tak mau dengar. Lalu dia menancapkan pisaunya ke jantungku."

Adrian yang masih menyangga leher Nicolae berusaha menenangkannya sementara aku hanya dapat memandangi dengan dada yang terasa sesak. Nicolae berjuang melawan ajal, seperti Alexandru waktu itu. Adrian hanya dapat menenangkan Nicolae yang hampir mengembuskan napas terakhirnya. "Di manakah Tuhanku?" ucap Nicolae sebelum cahaya di matanya padam dan dia pergi meninggalkan kami.

Alexis sekonyong-konyong terisak sambil menyebut namanya dan mengusap-usap rambut Nicolae yang kelabu dengan tangan gemetar.

Mendadak kemarahanku bangkit. Aku beranjak meninggalkan mereka. Alexis sempat memanggilku dengan panik. Aku tidak menghiraukannya dan menutup pintu depan lalu melesat terbang. Aku tahu siapa yang membunuh Nicolae. Aku yakin Nicolae sudah membujuk Peter, sahabat manusianya itu, tetapi Peter menolak dan kemudian mencoba membunuh Nicolae dengan pisau. Udara malam yang dingin dan kering seakan membimbingku ke tempat tujuanku. Aku yakin dia ada di sana.

Toko barang antik tersebut sudah dipenuhi manusia. Acara lelang sudah dimulai. Aku melihat si juru lelang yang dulu berseru di atas podium. Mataku mencari-cari manusia yang kuinginkan. Ternyata dia tidak jauh dariku, sedang berbicara dengan seorang pria tua bertongkat. Aku menunggu dengan sabar. Para manusia ini sibuk menawar harga yang lebih tinggi hingga akhirnya si juru lelang memukulkan palu.

Aku terus memperhatikan Peter yang sekarang berjalan menuju pintu keluar lalu mengikutinya. Hampir saja jejak mangsaku itu hilang gara-gara ada sejumlah pemabuk yang menggangguku. Aku mengerahkan kekuatan untuk membuat mereka patuh padaku bagaikan domba-domba di padang rumput.

Peter berbelok ke sebuah gang kecil yang gelap. Kesempatan baik bagiku untuk menyerang. Aku melesat terbang dan mendarat persis di depan hidungnya, menyebabkannya terkejut. Dia memandangku ketakutan seolah menatap malaikat maut sambil beringsut mundur ke tembok di belakangnya. Aku melangkah mendekat, tanpa mengucapkan apa-apa. Kutatap matanya dengan kekuatan vampirku. Dia tampak hendak mengucapkan sesuatu, tetapi kemudian cepat-cepat menutup mulut. Aku terus berdiri menatapnya bagaikan patung lilin, membuatnya semakin ketakutan. "Mengapa kau membunuhnya?" tanyaku tajam.

Peter menatapku dengan gugup. "A—aku tidak bermaksud membunuhnya," jawabnya. "Dia membuatku kecewa. Kukira kami sejalan, ternyata aku salah. Kami ...," dia terdiam lalu meneliti wajahku. Kemudian dia menekap mulutnya dan bergerak mundur lagi. "Tolong dengarkan aku!" serunya memohon. "Ini gara-gara Nicolae. Ini salah dia! Dia ingin aku mengikuti jalan kehancurannya. Dia ingin aku mati di jalannya!"

Aku melangkah lebih dekat dan berkata, "Dia benar, kau pantas mendapatkan kematian." Dengan cepat kuraih tubuhnya. Peter menatapku kalut seraya meronta sambil memekik dengan suara yang hampir terdengar bagaikan bisikan di telingaku. Namun aku lebih kuat. Ya, aku telah menguasainya! Kudekap dia lalu kusergap lehernya dengan ganas.

Darah panas mengalir deras ke dalam tenggorokanku, memuaskan dahagaku serta meredakan kemarahanku. Peter hanya sempat merintih sekali. Wajah Nicolae sebelum ajal menjemputnya terbayang begitu jelas di mataku, membuat hatiku perih. Aliran darah terus mengisi urat-urat nadiku, menghidupiku kembali, membangunkan diriku dari kebutaan. Setelah selesai, kulemparkan tubuhnya ke jalan lalu kuseka sisa-sisa darah di bibirku. Sejenak kemudian, aku pergi meninggalkan jasad yang membelalak ngeri tersebut.

Aku berjalan menyusuri malam di bawah sinar bulan sambil merenung. Apa makna dari kematian Alexandru dan juga Nicolae? Apakah untuk menunjukkan kepadaku bahwa bangsa kami pun akan bertemu maut? Kalau itu benar, apa yang akan terjadi padaku saat ajalku tiba nanti?

Sudah satu abad lebih aku menjalani keabadian. Sudah satu abad lebih aku menyurusi jalan-jalan di negeri indah ini. Sudah banyak sekali manusia malang yang kumangsa, kuakhiri hidupnya. Apakah aku akan terus melangkahkan kaki di negeri ini bersama saudara-saudara vampirku? Bagiku mereka hanyalah makhluk-makhluk membosankan. Rutinitas mereka tidak pernah berubah, hanya terkadang berganti pola, tetapi sama sekali tidak pernah berubah. Felix yang sudah menjadi master mereka selama ratusan tahun juga sepertinya tidak mampu mengubahnya. Segala-galanya berlalu tanpa arti, tanpa pelajaran, tanpa perubahan. Kematian Nicolae barangkali akan menggoreskan sedikit warna dalam kehidupan kami. Namun, apakah itu cukup bagiku?

Menyeberang ke Kegelapan, Kisah KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang