Bab 21

9 1 0
                                    

Aku menemui Larisa untuk menceritakan rencana dan pembicaraanku dengan Felix. Berkali-kali dia memandangku dengan penuh emosi, membuatku terdiam karena iba padanya. Akhirnya, dia menangis. "Aku tidak mengerti, Julian," ujar Larisa lirih. "Kau ingin meninggalkan rumah ini padahal kau baru saja menyelamatkanku dari kehancuran. Mengapa? Siapa yang meracuni pikiranmu?"

"Tidak ada. Ini masalah yang sudah lama kupikirkan," jawabku.

"Tapi mengapa?" desak Larisa.

"Ceritanya panjang."

"Ceritakanlah," pinta Larisa.

Aku memandang wajahnya yang memohon. Tak lama, aku pun mulai merangkai kata-kataku.

"Aku berasal dari dunia yang sama seperti kalian semua," aku memulai. "Dunia keputusasaan. Aku serasa tenggelam di tengah-tengah keluargaku. Mereka sangat mengagungkan nenek moyang kami, para pejuang besar di daratan Eropa. Gelar kebangsawanan yang kumiliki membuat orang-orang menaruh begitu banyak harapan dan tuntutan di pundakku, tapi juga sekaligus menganggapku tidak mampu mengembannya. Semua itu membebani dan membelenggu jiwaku. Membuatku bertanya-tanya apakah aku sanggup mengemban amanat leluhur kami? Apakah aku harus terus bertempur hanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa? Semua itu begitu membebani hatiku sampai akhirnya aku memikirkan kematian.

"Kemudian Felix datang ke dalam hidupku. Dia memberiku alternatif lain. Hidup dalam keabadian. Dia menjanjikan kebebasan dan kemerdekaan. Dia yakin itu akan membantuku mendapatkan jawaban. Tapi ternyata kehidupan abadi ini tidak memberiku jawaban, justru menambah bebanku. Lalu aku menyadari jawaban itu tak akan kutemukan di sini. Aku harus mencarinya di luar sana."

Larisa memandangiku dengan mata berkaca-kaca. "Jadi, kapan kau akan pergi?" tanyanya setelah beberapa lama dengan suara tersekat.

"Besok," jawabku pelan. "Malam ini aku akan pergi membeli kereta. Mereka akan mengantarkannya besok, beberapa saat setelah matahari terbenam."

"Lalu, ke mana kau pergi?" tanya Larisa yang sekarang meremas-remas tangannya sambil menahan tangis.

"Ke mana pun suara hatiku membimbingku," jawabku.

"Apakah kau akan kembali?" bisik Larisa.

Aku terdiam sejenak. "Jika waktu mengizinkan, kau pasti akan melihatku lagi."

"Janji?" pinta Larisa dengan mata berkaca-kaca.

"Ya, Larisa," sahutku lembut. "Aku berjanji."

Dari semua vampir di kastel ini, hanya Larisa yang masih menampakkan rasa peduli, rasa terikat, rasa sedih, rasa senang, dan lainnya seperti layaknya manusia. Vampir yang lain tidak seperti itu. Bahkan Felix, meski tadi sempat memohon kepadaku untuk tetap tinggal, tidak memohon dengan sepenuh hatinya.

Setelah menutup pintu kamar Larisa, aku pergi menemui Alexis dan Victor. Alexis menanggapi keputusanku dengan tenang. Sebagai murid Felix yang paling tua, dia juga memberikan beberapa nasihat padaku. Lalu dia memberiku cincin perak bermata zamrud miliknya sebagai kenang-kenangan, atau sebagai pendamping di saat aku merasa kesepian. Victor mengucapkan selamat berpisah sambil memelukku hangat.

Saat kembali ke kamar, aku memandang berkeliling, terkenang saat seorang vampir muda memasuki kamar ini dengan perasaan takjub. Aku teringat bagaimana vampir muda tersebut memeluk rumah perlindungannya yang megah, menjelajahi setiap sudut kastel ini dan bertemu semua makhluk kegelapan yang sama-sama berteduh di bawah atapnya. Besok, vampir muda itu akan meninggalkan mereka semua.

Menyeberang ke Kegelapan, Kisah KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang