Bab 10

4 1 0
                                    

Hari ini kami berkumpul untuk makan bersama. Semua hadir, termasuk Felix yang duduk di kursi paling ujung. Victor berkeliling untuk menuangkan minuman ke gelas kami seperti biasa. Dia melakukan tugasnya dengan serius dan tanpa berbicara.

Aku memandang Adrian Donovan yang sibuk mencabuti benang-benang kecil di bajunya. Dia membuatku teringat pada anak muda yang terbaring lemah di samping sosok besar yang menyayanginya. Namun Adrian yang ini adalah penggemar darah segar, bukan pelajar yang mengabdi pada seorang makhluk kegelapan dengan sepenuh hati. Adrian yang satu ini memiliki kebiasaan menggosok kuku hingga berkilap. Dia juga sering berbicara dengan lantang. Meski begitu, kadang-kadang dia berbicara dengan amat pelan seakan-akan berbisik pada diri sendiri.

"Ah, sayang sekali pembersih kukuku habis!" Adrian mengeluh sambil mengamati kuku-kukunya.

"Mungkin kau bisa membelinya dari kakek yang menjual kayu-kayu murahan itu?" ujar Gustav yang selalu duduk di samping Adrian.

"Kau kan tahu aku tak pernah membeli apa pun."

"Bagaimana kalau kau mencoba cairan pembersih keramik yang biasa Victor pakai?" Bianca mengusulkan.

Adrian menyahut ketus, "Kukuku bukan keramik!"

"Mungkin kau bisa menggunakan air hangat, seperti aku." Larisa yang duduk agak jauh dari mereka tiba-tiba mengajukan saran. "Lihat!" kata Larisa sambil memamerkan kukunya pada kami. Rambutnya yang saat ini dibuntut kuda membuatnya mirip sekali dengan Carmen, wanita yang duduk di samping Alexis. "Berkat kuku secantik ini, semua calon korbanku ingin sekali memegang tanganku lebih lama."

"Air hangat?" Adrian mencemooh. "Ha! Kurasa cairan pembersih milik Victor lebih bagus." Dia mengamati kukunya sejenak. "Tapi kurasa semua itu tidak ada gunanya."

"Cobalah ini,"ujar Nicolae sambil mendorong pengikir kukunya ke arah Adrian.

Adrian mengambil pengikir tersebut sambil memandang dingin muka Nicolae, lalu menyembunyikan alat tersebut ke balik meja tanpa mengucapkan terima kasih. Hening meraja.

Aku memperhatikan Nicolae. Sampai saat ini, dia masih menjaga jarak dan menghindari perbincangan. Dia selalu mengurung diri di kamar. Saat kami semua pergi berburu di malam hari, dialah yang paling pertama pergi ke luar dan pulang paling akhir. Pada acara seperti ini, dia selalu diam membisu dan tidak pernah berkomentar. Setelah acara selesai, dia akan langsung menyelinap pergi ke ruangan kosong atau ke kamarnya. Mungkin satu-satunya penghuni istana yang berani dia ajak bicara hanyalah Victor, sang pembantu. Itu pun jarang.

Waktu Nicolae masih manusia yang akan dibawa menyeberang oleh Felix, aku pernah mengira kumisnya adalah kumis palsu. Sekarang kumis itu sudah tidak ada. Hidungnya masih bengkok seperti dulu, dan merupakan ciri khas dirinya. Kedua pipinya yang menonjol menimbulkan kesan bahwa dia berpendirian keras, angkuh, dan tidak suka urusannya dicampuri orang. Sepertinya penderitaan hidupnya di masa lalu membuatnya menutup diri.

"Aku heran kau menaruh perhatian pada kesulitan Adrian," Gustav berkomentar pelan. "Kukira mainanmu itu satu-satunya temanmu."

"Aku tak memerlukannya lagi," jawab Nicolae tegas. "Sekarang aku tak perlu lagi mengotori peti matiku dengan serpihan-serpihan kukuku."

"Apa maksudmu?" tanya Adrian. Nicolae tidak menjawab, membiarkan kami semua bingung dan menduga-duga.

"Kau bertemu wanita bangsawan yang jatuh cinta kepadamu?" tanya Larisa.

Nicolae tidak menjawab. Dia justru memandang kami satu per satu, menantang untuk menebak sambil tersenyum seakan yakin kami tidak akan mampu memberikan jawaban yang benar.

"Kau menemukan ribuan tikus yang terperangkap di sarang mereka, benar?" tebak Bianca.

"Astaga, Bianca," Adrian berkomentar. "Pikiranmu aneh sekali."

Menyeberang ke Kegelapan, Kisah KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang