Bab 15

6 1 0
                                    

Kami akhirnya tiba di Bukares dan langsung menuju penginapan terdekat. Felix menyewa satu kamar untuk kami berdua. Aku lega karena ternyata matahari belum begitu tinggi. Felix juga tampak sangat lega karena kami akhirnya terbebas dari kusir yang dibencinya itu.


Kamar kami terletak di lantai bawah penginapan bersama kamar-kamar lain yang kesemuanya berjumlah lima buah. Menurut penjelasan si pemilik, dulu kamar-kamar ini digunakan untuk menyimpan barang. Setelah dirombak, barang-barang tersebut dipindahkan ke ruangan lain di luar. Sesungguhnya ini membuat aku dan Felix merasa lebih aman karena kami dapat beristirahat hingga menjelang malam tanpa khawatir.

Aku dan Felix bangun lebih awal pada malam harinya dan langsung menyembunyikan peti mati kami di sebuah ruangan kecil tertutup yang tanpa sengaja ditemukan Felix dini hari tadi. Setelah membersihkan dan merapikan diri, Felix memberitahuku bahwa dia akan mengurus beberapa hal serta mencari kereta terbaik di kota ini. Kami akan melanjutkan perjalanan besok malam.

Aku dan Felix pergi ke ruang utama tempat para tamu lain berkumpul dan menikmati hidangan dalam porsi yang cukup besar. Pemilik penginapan mempersilakan kami duduk di meja dengan dua piring makan serta dua gelas berisi anggur yang telah ditata rapi. Aku menoleh kepada Felix yang balas memandangku dengan tenang lalu duduk, memberiku isyarat agar mengikutinya. Kami harus tetap tenang agar tidak memancing kecurigaan. Kami duduk tanpa menghiraukan hidangan di depan kami.


Aku memperhatikan para tamu. Sebagian dari mereka adalah petani dan pekerja kasar yang senang berkumpul dan berkelakar. Sepertinya mereka sedang merayakan sesuatu karena mereka sering membenturkan gelas masing-masing. Sebagian tamu lainnya tampak lebih rapi dengan jas atau mantel gelap, dasi sutra putih, serta kacamata dan kumis tipis. Mungkin mereka orang-orang terpandang, pemilik perkebunan, atau pemilik toko yang tersebar luas di kota ini. Hanya satu atau dua orang wanita yang terlihat di tempat ini. Mereka seakan-akan tenggelam dalam lautan kaum pria.

Kami terus duduk, membiarkan makanan kami dingin. Seorang pria kurus duduk di sebelahku, menggantikan pria tua yang baru selesai. Meski tidak melihatnya secara langsung, aku tahu dia memperhatikanku. Aku menoleh dan memandangnya. Wajahnya tampan dan penampilannya sangat sederhana. Kelihatannya dia dari golongan pelajar atau semacam itu. Sorot matanya memancarkan pengalaman serta kematangan ilmu. Dia tersenyum agak lama padaku lalu melirik sekilas ke arah makanan di hadapanku.

"Anda akan membiarkan makanan itu dingin, Tuan?" tanyanya.

"Saya sudah makan sore tadi," jawabku seraya membalas senyumannya.

"Orang di sini biasanya akan makan lagi pada malam hari meski sudah makan sore harinya." Aku tidak yakin apakah itu suaranya atau bukan karena terdengar seperti alunan lembut di telingaku. Lalu dia menambahkan, "Saya lihat Anda bukan dari sini. Apakah Anda pendatang baru?"

"Ya, saya bersama teman saya." Kemudian aku diam, tidak berminat mengobrol dengan pemuda tersebut.

Senyumnya semakin lebar. "Maaf saya bertanya lagi. Anda akan tinggal di sini?"

"Tidak," jawabku singkat. Kuamati mimik wajahnya lebih dalam. "Kami akan melanjutkan perjalanan ke Dobrogea," kataku menjelaskan.

Dia tertawa kecil. "Untuk apa Anda pergi ke sana? Di sana tidak ada kehidupan."

Melihat air mukaku yang heran, dia melanjutkan, "Saya pernah tinggal di sana selama satu minggu. Saya selalu mencari tempat untuk mengembangkan kemampuan, dan salah satunya adalah Dobrogea. Tapi di sana segalanya benar-benar mati. Penduduknya sedikit, bahkan saya tak pernah melihat anak-anak. Hampir semua orang yang saya temui tak pernah bicara. Kalaupun saya mendengar mereka bicara, bahasa yang mereka gunakan sangat asing. Mereka mungkin datang dari pedalaman Eropa, atau entah dari mana. Mereka sangat aneh. Saya pernah memergoki seorang wanita menatap saya dengan sorot mata yang kejam. Mata itu—ah, saya tak dapat melupakannya. Mereka bagaikan orang-orang terlantar yang menyimpan dendam. Bahkan, saya rasa mereka itu bukan manusia!"

Menyeberang ke Kegelapan, Kisah KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang