Bab 11

4 1 0
                                    

Malam ini aku bangun lebih cepat lalu pergi ke luar untuk memenuhi kebutuhan vitalku. Aku terbang menuju pusat kota. Udara terasa dingin, tetapi sedikit membawa kedamaian. Pemandangan di bawahku tampak begitu kecil dan menghampar luas. Gunung-gunung serta perbukitan terjal yang memisahkan antara kota dan kuil-kuil besar seakan bergulung-gulung bagaikan ombak di lautan. Cahaya keramaian menarikku untuk melesat ke bawah.

Rupanya sedang ada lelang barang berharga di toko keramik. Sang juru lelang, seorang lelaki separuh baya, berdiri di podium. Di sampingnya terdapat sejumlah barang keramik; poci besar, satu set peralatan makan, guci, dan patung-patung manusia. Kini juru lelang itu menawarkan guci dari Tiongkok. Persaingan dimulai. Aku menonton, mengamati para peserta lelang berkompetisi memperebutkannya, dengan menawarkan harga yang lebih tinggi daripada penawar lain.

Seorang wanita muda berparas cantik ikut serta dalam permainan tersebut. Sungguh bodoh, pikirku. Untuk apa dia menghamburkan banyak uang demi mendapatkan guci itu? Padahal dia dapat memperoleh guci bagus dengan harga wajar di toko biasa lalu sisa uangnya dapat dia tabung untuk masa depan. Meski heran dengan kelakukan para manusia ini, mendadak rasa laparku terbit.

Wanita itu bertubuh jangkung dan langsing serta berambut ikal panjang berwarna cokelat. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, tetapi lehernya yang indah dan halus cukup membangkitkan gairahku. Pikiranku berpacu. Wanita itu belum mengajukan penawaran. Dia masih menunggu dan melihat situasi. Kuperhatikan pandangannya berpindah-pindah dari satu orang ke orang berikutnya, lalu berhenti beberapa saat pada sang juru lelang. Rasa laparku semakin membara, mencabik-cabik segenap urat nadi dan akal sehatku. Aku tidak tahan lagi. Saat aku akan bergerak, tiba-tiba terdengar hantaman keras palu dari arah podium.

"Ya! Terjual untuk tuan yang di sana!" seru sang juru lelang sambil menunjuk seseorang di kerumunan. Suasana sejenak jadi hening, lalu berangsur riuh kembali.

Pandanganku tertuju pada orang yang kini menerima barang yang dimenangkannya kemudian berjalan keluar. Aku mengikutinya kemudian mengucapkan selamat atas keberhasilannya memperoleh barang itu, menyebabkan lelaki itu memandangku dengan bingung. Penampilannya mengingatkanku pada seseorang. Aku heran melihatnya membeli sesuatu dengan harga setinggi itu. Lelaki ini tidak tampak seperti orang yang berkecukupan apalagi terpandang. Pakaiannya juga tampak lusuh serta dihiasi sejumlah tambalan. Hanya sepatunya saja yang tampak bagus, dan anehnya aku merasa pernah melihat sepatu tersebut.

Sadar dia masih memandangiku dengan waspada, aku tersenyum dan berkata, "Anda diutus oleh majikan Anda untuk membeli barang ini?"

"Tidak, saya tak punya majikan. Saya sendiri yang menginginkan barang ini," jawabnya.

Lelaki ini masih muda, hampir seusia Adrian yang manusia. Wajahnya bersih, beralis tipis, serta berhidung mancung. Bibirnya tampak lembut seperti bibir perempuan. Matanya biru dan tampak berbinar. Rambut cokelatnya terbelah rapi di tengah-tengah kepala.

"Anda menyukai guci keramik? Mengapa?" tanyaku.

Pemuda itu tersenyum. "Karena kegunaannya. Saya senang meletakkan bunga krisan di dalam tempat yang memiliki harga serta mutu yang tinggi. Saya rasa orang-orang zaman dulu pun sering melakukannya." Dia mengamatiku, seakan meneliti setiap lekuk di wajahku. "Anda sendiri tidak ikut menawar?" tanyanya.

"Oh, tidak," jawabku sambil tertawa kecil. "Saya tidak membawa apa-apa. Saya lebih suka memperhatikan mereka."

"Apakah itu membawa kesenangan bagi Anda?"

"Ya," jawabku seraya berkata dalam hati, Kesenanganku adalah kematianmu. Aku melihat semacam permainan fantasi di balik tengkoraknya. Gelembung warna merah yang berdenyut-denyut berirama seakan merayuku untuk berdenyut bersamanya. Saat tengah terbuai oleh dekapan hasrat, aku melihat sosok lain di balik bahunya yang lebar.

Menyeberang ke Kegelapan, Kisah KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang