Empat puluh hari kemudian.
Santi memeluk Kayla. "Sampai ketemu lagi ya, Mbak. Jangan lupa kirim-kirim kabar. Kalau nomor handphone-nya ganti, jangan lupa kasih tahu."
Kayla melepaskan pelukan, menatap gadis di hadapannya. "Iya, pasti. Makasih sudah banyak bantuin selama aku kerja di sini."
Beberapa pelukan lagi Kayla terima dari teman-temannya kerjanya, yang sebentar lagi akan menjadi mantan rekan kerja. Ketika tiba giliran Maria, gadis itu mengedip. "Kita nanti pelukan lagi di rumah."
Setelah Kayla selesai berpamitan dengan semua orang yang bekerja di ruangan yang sama dengannya, Edwin sudah menunggu, duduk di salah satu meja yang tak bertuan. Matanya tak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu.
"Kamu sungguhan ini resign?" tanya Edwin.
"Iya, Pak."
"Sebetulnya saya nggak rela," kata Edwin lagi.
Kayla tersenyum. "Harus rela, Pak. Saya sudah ditunggu Bapak saya."
"Kenapa? Kamu mau dikawinkan?"
"Nggak, Pak. Saya bukan Siti Nurbaya. Saya bisa cari suami pakai jalur mandiri."
Edwin terbahak. "Boleh, tuh ... Saya mau daftar kalau dibuka jalur mandiri."
Bibir Kayla menyunggingkan senyum lebar.
Edwin mengulurkan tangan kanannya, mengajak bersalaman. "Kayla, thanks for everything. I really appreciate for your hardwork as my assistant. Kalau kamu punya keinginan kerja lagi di sini, jangan ragu-ragu, kamu bisa kontak saya, as soon as possible."
"Saya senang bekerja di sini, menjadi bagian dari team yang luar biasa. Saya banyak belajar dari Bapak dan teman-teman di sini," balas Kayla. "Terima kasih untuk semuanya."
"Boleh saya antar ke bawah?"
"Saya terharu," kata Kayla. "Tapi sebaiknya jangan, Pak. Saya takut nanti saya nangis bawang bombay."
Edwin tertawa. "Baiklah." Pria berkacamata itu turun dari meja, mengikuti Kayla yang berjalan menuju ke pintu.
Gadis itu membuka daun pintu lebar-lebar, lalu berbalik, memandang Edwin, kemudian kepada teman-temannya di meja mereka masing-masing. Dia melambaikan tangan sebagai ucapan perpisahan.
Terima kasih, empat tahun yang luar biasa, kata Kayla dalam hati.
***
"Sudah semua, ya?" tanya Alden. Tangannya menunjuk satu kardus bekas air mineral. "Ini yang terakhir?"
"Iya. Ini nggak berat," jawab Kayla. "Cuma pernak-pernik kecil."
"Oke." Alden mengangkat kotak itu. "Kita langsung pergi, ya?"
Kayla mengangguk, kemudian menoleh ke arah Maria dan Selvi yang sedari tadi hanya memperhatikan Alden mondar-mandir di apartemen mereka mengangkat beberapa kotak. Barang-barang itu akan dikirim lebih dulu ke alamat rumah Kayla di Kota K menggunakan jasa kargo. "Aku kirim dulu barang-barangku, ya. Kalian mau dibeliin makan siang?" tanya gadis itu.
Maria dan Selvi menggeleng.
"Nggak usah repot-repot," sahut Selvi.
"Hmm ... Alden ... Aku mau dibawain sesuatu," sela Maria.
Semua menoleh ke arah gadis berkulit gelap itu dengan tatapan bertanya.
"Boleh. Apa itu?" tanya Alden.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORGETTABLE THINGS
RomanceDua minggu menjelang pernikahannya dengan Jonas, Kayla membatalkan semuanya. Dan dia pergi selama empat tahun; tak pernah kembali ke kota kelahirannya, bahkan hanya untuk sekedar kunjungan singkat. Namun, Kayla tak bisa menolak ketika Adrian, adik...