"Gimana, Kay? Kapan kamu bisa mulai?" Suara dalam dan berat itu terdengar mendesak dari ujung sana. "Jangan pikir yang lain-lain. Bisnis ini suatu saat akan jadi warisan buat anak-anak Papa. Adrian sudah mulai. Seharusnya kamu juga."
Kayla menghela napas. Tapi sebelum sempat membalas, seseorang mengetuk kubikelnya. Gadis itu mendongak.
"Mbak, bos-bos sudah pada ke atas!" kata Santi, sekretaris direktur. Telunjuk kanannya menunjuk ke lantai atas.
Kayla mengangguk sebagai jawaban, kemudian beralih kembali ke ponselnya. "Pa, Kayla mau meeting, sudah ditunggu bos. Nanti Kayla telepon lagi, ya."
"Kamu sudah terima kartu undangan dari Adrian?"
"Belum."
"Baiklah." Klik. Telepon ditutup.
Setelah memasang silent mode, Kayla menyimpan ponselnya di dalam laci. Dia malas membawa benda itu jika sedang rapat dengan para atasan. Percuma juga karena dia pasti tidak akan bisa menjawab panggilan telepon ataupun membalas pesan yang masuk.
Seseorang kembali mengetuk dinding kubikel. "Kay," panggil Edwin, PPIC Manager, atasan langsung Kayla. "Ayo, Pak David sudah di atas."
"Iya, Pak." Kayla buru-buru mencari sepatu di bawah meja dan mengenakannya, lalu berjalan cepat menyusul Edwin setelah menyambar buku agenda dan bolpoin.
***
Amplop coklat itu sudah ada di atas meja ketika Kayla kembali dari ruang rapat di lantai tiga. Dibaliknya amplop itu untuk melihat nama si pengirim, kemudian diambilnya ponsel yang tersimpan di dalam laci. Keningnya seketika berkerut, membaca sebelas panggilan tak terjawab dari satu orang. Adrian, adik semata-wayangnya, akan menelpon belasan kali sebelum Kayla benar-benar menjawab panggilannya. Pemuda itu paling malas mengirim pesan di WhatsApp ataupun SMS.
Gadis itu berdecak, menarik kursi dan duduk di atasnya. Setelah melepas sepatu, ditekannya nomor Adrian. "Halo, Yan. Ini aku."
"Akhirnya ... Aku telpon berkali-kali, kamu nggak jawab," sahut suara di seberang sana.
"Nggak sengaja. Kalau lagi meeting sama bos, aku nggak pernah bawa HP. Ada apa? Mau tanya kartu undangan yang kamu kirim? Aku sudah terima."
"Jadi, kapan kamu pulang? Perlu kujemput di bandara? Atau kamu mau naik kereta? Atau bus malam?" tanya Adrian bertubi-tubi.
Kayla mengerjapkan mata. "Acaramu jadi tanggal berapa?"
"Kamu belum buka paketnya?"
"Belum. Aku baru terima siang ini. Tadi Papa telepon juga, tapi nggak ngasih tahu tanggal berapa. Cuma nanya apa kartunya sudah sampai atau belum."
"Ah—Mungkin dia lupa. Masih bulan depan, sih. Aku sengaja kirim sekarang supaya kamu bisa ngajuin cuti jauh hari sekalian nyiapin baju."
Kayla menatap kalender di atas meja. "Aku harus pakai baju apa? Nggak ada seragam untuk keluarga?"
"Bebas," jawab Adrian, membuat Kayla merasa lega mendengarnya. "Gaun apa saja, model dan warna terserah. Kalau kamu ragu-ragu, kamu bisa tanya Mia."
"Oke."
"Kali ini kamu harus pulang! Oke? Awas ya, kalau sampai kamu nggak datang, aku sita semua bagian warisanmu!" Adrian tergelak.
"Dasar matre!"
"Yah ... Begitulah, matre is a must!" Adrian tertawa kecil sekali lagi. "Oya ... Umm ... "
Kayla menunggu beberapa saat, namun Adrian tak juga mengucapkan sepatah kata pun. "Ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORGETTABLE THINGS
RomanceDua minggu menjelang pernikahannya dengan Jonas, Kayla membatalkan semuanya. Dan dia pergi selama empat tahun; tak pernah kembali ke kota kelahirannya, bahkan hanya untuk sekedar kunjungan singkat. Namun, Kayla tak bisa menolak ketika Adrian, adik...