Lima Belas

290 33 0
                                    

Wanita itu berjalan memasuki lobi utama dengan langkah cepat dan berhenti di depan meja resepsionis. Dia melepas kacamata hitam yang dikenakan. 

            "Selamat siang, Bu Wina." Ika yang sedang bertugas mengenali wanita itu sebagai ibu dari bocah yang kemarin sore nyaris tenggelam di kolam renang hotel. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau lihat rekaman CCTV kejadian kemarin, waktu anak saya jatuh ke kolam renang. Saya mau secepatnya."

"Baik, Bu. Saya akan menyampaikan permintaan Ibu pada Pak Jonas. Mohon tunggu sebentar." Ika bergegas menuju ke ruangan Jonas di balik dinding lobi utama, berhadapan dengan Restoran Safir.

Pramono yang bertugas bersama Ika mempersilakan Wina duduk di sofa ruang tunggu, namun wanita itu menolak. Dia hanya berjalan mondar-mandir dengan tangan bersedekap di depan dada.

Beberapa waktu kemudian, Jonas menghampiri Wina sementara Ika kembali ke mejanya. Wanita itu segera mengenali pria yang menyelamatkan putranya itu. Berkali-kali diucapkannya terima kasih atas aksi heroik Jonas, membuat pria itu merasa kikuk.

"Saya mau lihat rekaman CCTV kejadian kemarin," kata Wina mengulangi permintaannya. "Saya hanya mau memastikan apa yang dilakukan Lia, suster anak saya, sebelum kejadian. Kalau dia memang ceroboh, jelas saya harus memecatnya. Saya nggak mau anak saya mengalami kecelakaan lagi."

Perlahan raut wajah Wina tampak mengeras.

Jonas segera paham. Dia kembali ke meja resepsionis. Dipinjamnya walkie-talkie dari Parmono untuk bicara pada seseorang di ruang keamanan.

Lima menit kemudian, Jonas dan Wina berjalan beriringan menuju gedung belakang.

***

Kayla mengambil chicken salad dan roti garlic sebagai menu makannya. Hanya ada sedikit orang dari bagian house keeping dan administrasi yang ada di ruang makan khusus karyawan pada pukul dua siang itu. Makan siang yang terlambat.

Kayla memilih duduk di salah satu meja kosong, tidak terlalu jauh dari pintu keluar. Merasa sedikit kurang nyaman, gadis itu melepas blazer yang dikenakan dan menyampirkannya di bahu kursi. Kini dia hanya mengenakan blus putih dan rok merah marun, senada dengan warna blazer, yang panjangnya sedikit di atas lutut.

Baru saja Kayla duduk, Jonas melangkah masuk. Sosok Kayla yang pertama kali tertangkap oleh penglihatannya. Dada pria itu sedikit berdebar, mengingat mimpinya semalam.

Kayla melemparkan senyum.

Jonas datang mendekat. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya.

"Boleh."

Jonas pergi untuk mengambil makanan dan kembali beberapa menit kemudian. "Kamu cuma makan itu?" tanyanya seraya menunjuk piring berisi salad di depan Kayla.

Kayla mengangguk. "Males makan."

"Jangan malas. Nanti kamu tambah kurus, lho. Kerja di hotel itu butuh banyak energi. Kamu harus cukup makan supaya nggak pingsan."

"Kalau aku pingsan bawa aja ke rumah sakit. Deket ini." Kayla mencebik kemudian mulai menusuk sayuran di piring dengan garpu.

"Oya, Kay. Tadi Bu Wina minta nge-cek rekaman CCTV."

"Bu Wina?" Kayla mengernyitkan kening. "Bu Wina siapa?"

"Yang anaknya kecelakan kemarin," jawab Jonas.

"Oh ..." Kayla mengingat sosok wanita berusia pertengahan tiga-puluhan itu. "Ya, aku ingat. Dia minta rekaman CCTV kejadian kemarin?"

"Iya. Dia mau tahu gimana kejadian sebenarnya. Kurasa sekarang susternya sudah dipecat."

Kayla menarik napas. "Aku setuju suster itu dipecat. Memang susternya yang salah. Dia kan sudah digaji buat jaga anak, ya kerja yang bener, dong. Jaga baik-baik, nggak main handphone. Sekarang kalau dia terbukti lalai dan membahayakan nyawa si anak, ya lebih baik dipecat."

Jonas tidak mengatakan apa-apa. Meskipun tangan dan mulut sibuk dengan makanan di piringnya, namun dia mendengar setiap patah kata dari mulut Kayla. Gadis itu masih suka berdiskusi dan berbicara apa adanya.

Diam-diam Jonas menyukai situasi di antara mereka saat ini. Dekat, dan nyaris bisa membicarakan apa saja. Mengingatkannya pada masa lalu.

"Dulu, temanku—sebetulnya dia salah satu supplier di kantorku yang lama, punya pengalaman buruk dengan suster anaknya," kata Kayla. "Waktu masih bayi, si suster ngasih obat tidur ke anak itu."

Jonas terkejut. "Beneran?"

Kayla mengangguk. "Bener. Suster itu ngasih obat tidur supaya dia bisa leha-leha kayak si nyonya. Nonton teve, baca majalah, manikur. Padahal jadi nyonya nggak gitu-gitu amat, kok."

"Ketahuannya gimana?" tanya Jonas dengan rasa ingin tahu.

"Temanku bawa bayinya ke dokter karena curiga. Ini bayi kok anteng banget. Setiap kali dia pulang dari kantor, anaknya sudah tidur, nggak ada main atau apa. Jadwal minum susunya juga aneh, lama gitu. Padahal bayi kan nggak begitu, ya?"

Jonas menggumam pelan. "Hmm ... Sepertinya sih begitu. Aku kurang tahu."

Kayla melengak. "Lho, kamu kan sudah pengalaman ngurusin baby."

Jonas tersenyum malu. "Sebetulnya nggak punya. Aku kerja di luar kota, jarang pulang. Aku pulang kalau sudah diuber-uber mamaku disuruh pulang." Pria itu sedikit tergelak, kemudian berkata lirih, "Aku bukan suami yang baik, Kay."

Tiba-tiba hati Kayla terasa perih mendengarnya. Dia menunduk, mengaduk-aduk sayuran dengan garpu tanpa berniat memakannya. "Kenapa?" tanyanya beberapa saat kemudian. "Kenapa kamu bukan suami yang baik? Aku merasa ... Kamu bukan orang seperti itu."

Jonas menelan ludah. Dia sudah hendak menjawab ketika Pramono mendekat dan menyapa.

"Pak Jonas, Bu Kayla." Pria bertubuh kecil itu menyapa dengan sikap hormat. "Maaf, mengganggu."

Jonas memalingkan wajah. "Ya, Pram. Ada apa?"

"Ada orang mau booking suite room selama setahun, Pak."

Jonas dan Kayla terkejut.

"Setahun?" tanya Jonas dengan nada tak percaya.

Pramono mengiyakan. "Dia mau booking lewat aplikasi. Tapi karena gak ada fitur nginep setahun, dia langsung kontak kita."

Jonas beralih pada Kayla. "Belum pernah ada orang booking kamar hotel setahun full."

Percakapan dengan Alden tempo hari melintas dalam ingatan Kayla. "Siapa nama orang itu?"

"Sebentar." Pramono merogoh saku bajunya, mengeluarkan secarik kertas kecil dan membacanya. "Alden Haryanto."

Jonas menghitung cepat. "Booking satu tahun di rate suite room sekarang ini, bisa lima ratus jutaan!"

"Gimana, Pak Jonas? Bu Kayla?" tanya Pramono. "Tadi saya belum ngasih jawaban apa-apa karena setahu saya, kita belum punya kebijakan khusus sewa kamar sampai berbulan-bulan. Apalagi ini setahun! Tadi saya janji telepon Pak Alden satu jam lagi."

"Saya kenal Alden," kata Kayla, membuat Jonas dan Pramono terkejut.

"Temanmu?" tanya Jonas cepat.

Kayla mengangguk.

"Buat apa dia sewa kamar hotel setahun full? Bukannya lebih murah kalau dia sewa rumah? Jumlah segitu juga sudah bisa buat beli rumah," ucap Jonas dengan dahi terlipat. Siapa yang begitu royal, membuang ratusan juta hanya untuk menginap di satu kamar? Dan yang lebih membuat penasaran, siapa Alden?

"Ah, entahlah. Antara dia bodoh atau apa, sih." Kayla menggumam dengan nada sedikit kesal. Dia tak menyangka Alden sungguh-sungguh dengan keinginannya waktu itu. Kemudian dia berpaling pada Pramono dan berkata, "Mas Pram, tolong telepon Pak Alden dan minta dia menunggu telepon dari saya, sore ini."

***

UNFORGETTABLE THINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang