4. Cuma Kartu

14 3 0
                                    

"Bian, lo liat kartu ATM gue ngga?" suara lantang Bungi menggelegar di setiap sudut rumah. Wanita itu sudah menghabiskan setengah jam sambil jalan kesana-kemari seperti orang kesetanan dan terus bertanya kepada setiap penghuni asrama. Pantas dia disebut wanita meresahkan.

Bian yang masih sibuk menjadi chef dadakan-karena terinspirasi ide masakan dari acara tv lokal-mendengus kesal karena merasa terganggu. Meninggalkan omelet ala-ala eropanya di nakas dapur, menghampiri Bungi dan membantu mencari di loker-loker rumah-masih dengan celemek berwarna cerahnya.

"Makanya, kalo naruh wallet jangan sembarang. Lo tau sendiri, kan anak asrama pada usil-usil." Rangga menuruni anak tangga, tangan kirinya kokoh membawa cangkir kopi.

Bungi mulai frustasi, habis nasibnya ditangan sang papa kalau berita kartu ATM-nya hilang tersebar. Bungi sadar kalau dia ceroboh dan bahkan baru teringat saat Bu Dian sang dekan prodi mengingatkan batas waktu pengiriman tesis semester lima.

Laporan setebal dua chapter novel Harry Potter itu harus dikirim berupa hardcopy, tetapi sayangnya printer asrama sedang mogok kerja-yang sangat tidak tahu situasi dan kondisi. Kalau harus menunggu service akan lama dan biayanya pun lebih mahal. Maka tadinya Bungi akan pergi ke tempat rental atau fotocopy-an, tapi malah harus repot mencari kartu debit nya.

"Bang, di atas ada saha?" tanya Bian sok punya ide.

"Gue sendirian."

Bagus! Berarti mereka tinggal mencurigai empat oknum lainnya. "Teh, coba telfon yang lain."

Bungi mengerti maksud Bian, bergegas mengambil handphonenya. Mengabsen satu persatu makhluk asrama. Di panggilan kedua, Tama mengangkat.

"Tam, lagi dimana?"

"Gue pergi ke perpus kampus, sekalian isi perut." Mereka bertiga saling bertatapan-panggilan itu ia loudspeaker agar yang lain mendengarnya-jawaban yang patut dicurigai.

Tapi Bungi sudah terlanjur geram, asal ceplos berbekal kecurigaannya dan kebiasaan anak asrama. "Elo pake atm gue, ya?! Balikin sini! Ngga gitu dong kalo mau bales dendam!"

"Lah, ya mana gue tau. Orang gue makan bareng Bang Sabda. Pake duit cash. C-A-S-H."

"Ya, itu kan, elo tarik tunai dulu di indoapril depan. Coba loudspeaker, gue mau ngomong sama sabda." Tuduh-menuduh masih terus berlanjut hingga suara Sabda menyapa. "Apaan?"

"Sabdaaaa!! balikin kartu gue. gini amat
punya temen," suara Bungi mulai putus asa, "Tesis gue belom dicetak, Ya Tuhan...."

Samar suara tawa Tama terdengar diujung sana, seolah tak percaya bahwa Sabda memang menggunakan ATM Bungi. "Iya, nanti gue balik-"

"SEKARANG."
"Sabar napa sih, nge. Lagian cuma kartu doang."

"Gue tuh butuh duitnya buat ke rental, dodol! Minggu besok deadline, lo tau sendiri kan gimana rese nya Bu Dian. Mau tanggung jawab lo kalo gue ngulang semester?" terang Bungi panjang lebar-darting mendengar respon sabda yang biasa saja.

"Lo ada E-Bank, kan?"

"Ya, ada lah. Kan gu-" benar juga, Bungi
baru teringat bahwa E-Banking nya sudah
aktif bulan lalu. Kenapa dia repot-repot
mencari kartunya? Bodoh bercampur malu menusuk ulu hatinya, segera Bungi
tutup panggilan itu.

"B*goo! bisa bisanya gue lupa kalo
ada E-Bank." Bungi setengah tertawa,
menggeliat memeluk bantal sofa. Bian dan Rangga ikut kesal bukan main, keduanya sama-sama menatap sinis kearah Bungi. Berakhir dengan lambang peace dari Bungi.

Another (Side Of) BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang