Memegang Tanpa Tangan by Aisyah Dea

32 11 0
                                    

Story by writerdea

"Sedih dan senangnya hidupmu itu bagaikan seni yang dilukis di atas kanvas yang tak terlihat"-Dea-

Dua ranjang di dorong menuju ruang UGD. Dokter dan suster dengan sigap menangani korban kecelakaan mobil. Gadis yang setengah sadar tidak berdaya, hanya bisa menatap buram langit-langit ruangan. Di saat ia merasa sebuah jarum menusuk lengannya, di saat itu juga Vania tidak sadarkan diri.

Setelah melakukan tindakan, dokter tersebut keluar dari ruang UGD.

"Maaf, pak. Istri bapak tidak bisa kami selamatkan lagi."

"Dok, tolong istri saya!"

"Kami sudah melakukan yang terbaik, Pak."

Tubuh pria itu bergemetar. "Pu-putri sa-saya, Dok?"

"Tangan putri Anda harus segera diamputasi."

Deg!

Ayah Vania benar-benar getir. Ia harus menerima kenyataan dan inilah kenyataannya. "Lakukan yang terbaik untuk putri saya, Dok."

Dokter tersebut mengangguk.

...

"Tau nggak aku dengar pelukis muda yang terkenal itu kehilangan tangannya, loh," sindir Maret sambil melirik-lirik ke arah Vania yang sedang berada di teras rumahnya.

"Hadeuh, mungkin tangannya tersiksa dipakai terus sama pemiliknya," sindir Rania sambil melumat permen tangkainya.

"Bener banget, Ran!" dukung Maret.

"Woy, Vania!" teriak Alex. "Hati-hati nanti kakimu juga pasrah sama kamu!" olok Alex.

"Kaki oh kaki yang sabar ya," tambah Rania.

"Kumenangisssss." Kompak mereka.

Kalimat-kalimat yang dilontarkan itu membuat Vania benci dengan dirinya, sangat benci. Kenapa ia harus kehilangan kedua tangannya di saat ia sedang berada di titik puncak lukisannya mendapat pujian dunia?

Sejak kejadian kecelakaan itu, Vania kehilangan mamanya, tangannya, dan kebahagiaannya. Detik-detik kecelakaan itu masih tergambar jelas di otak Vania. Hal tersebut selalu membuatnya seperti ditusuk pisau. Perih.

Masalah yang ada di kehidupannya tidak hanya itu. Sekarang ia harus menerima ayahnya yang sedang sakit keras. Vania hanya bisa berharap bisa cepat-cepat keluar dari tahun ini. Namun, ia belum bisa mempredeksi apakah tahun kedepannya akan lebih baik.

Setelah puas menghujat Vania, mereka tertawa puas. Tawa mereka terhenti saat tatapan tajam menyorot kepada mereka.

"Kalau di sini cuman mau gibah mending di tempat pembuangan sampah. Jangan mengotori rumah ini dengan mulut kalian!" semprot Iqbal menunjuk-nunjuk ketiga orang itu.

Maret berdecih dengan tatapan dengki.

"Mak buat kue pakai ragi. Guys, mending kita pergi," ucap Alex berpantun langsung mengambil sepedanya diikuti oleh Maret dan Rania.

"Sang pangeran berjuang dengan berani. Kuy pergi, tak ada gunanya juga kita di sini," balas Rania.

"Si Ucup ingin menyampaikan salam. Sekian dari kami, wassalam."

Iqbal beralih kepada Vania. Kakinya melangkah menuju Vania yang sedang menatap kosong.

"Nggak usah dipikirkan kata-kata mereka. Mereka awalnya iri sama kamu," tegur Iqbal yang baru saja pulang sekolah. Ia adalah cowok yang selama setahun ini dekat dengan Vania. Ia juga adalah saksi kesuksesan dan keterpurukan Vania. Karena kondisi Vania dan ayahnya yang sedang sakit, Iqbal sering ke rumah Vania.

Nubar Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang