The Last by Fia Ayu Febrianti

74 21 8
                                    

Story by Polaris183

"Wah!"

Dia sambut kedatanganmu dengan satu seruan yang tak kaupahami betul maknanya untuk apa. Entah sindir, entah kagum, entah untuk kembang api yang kaubawa, atau untuk yang lainnya. Pukul sepuluh malam, dan seenakmu kauketuk pintu apartemen bobrok milik kawanmu itu.

Kau disilakan masuk, dibiarkan saja ambil alih kuasa menduduki satu-satunya sofa tunggal yang teronggok mengenaskan di ujung ruangan dengan setumpuk pakaian. Bersih tidaknya, kau mana peduli? Butuhmu hanya melepas penat setelah hal-hal melelahkan yang terlalu hari ini.

Rambut cokelat madu sepunggungmu yang tadi terikat asal, kaugerai sekalian. Beberapa helainya lengket, menyatu tak mau dipisah dengan yang lain sebab terlekatkan koloid. Bau anyirnya yang menusuk penghidu membuatmu erangkan jengkel. Jengkel pada pekerjaanmu. Jengkel pada keputusanmu menerima pelanggan semenit sebelum jam tutup. Jengkel pada gerilya tangan kotor lelaki tua pelangganmu, yang asal menyentuh lekuk pinggang sewaktu kaumainkan gunting dan sisirmu memangkas rambutnya. Mengesalkan, menyebalkan, membuatmu ingin meledak merasa terlecehkan. Kau merasa marah, dengan hidupmu yang melulu begitu, utamanya.

Kegiatanmu yang tengah memisah satu demi satu helai rambut itu dipandangi jenaka oleh kawanmu. Dia datangi kau dengan secangkir besi berisi kopi. Memintamu meminumnya sebelum dingin. Nanti hambar, katanya, padahal panas atau dingin pun, rasa kopi ya begitu-begitu saja. Tak ada bedanya. Tetap terasa pahit dengan selubung aroma yang buatmu layaknya ekstasi—yang mana satu-satunya hal yang kausuka dari bubuk hitam itu—membuatmu candu untuk menyesap lagi dan lagi.

Namun untuk kali ini, cukup sekali sesap saja, sebab manisnya luar biasa menyiksa. Lidahmu seperti mati rasa. Kau memang suka manisnya gula dalam pahitnya kopi, tetapi tak semanis ini pula.

"Ey, tak sopan. Aku buatkan susah-susah malah dimuntahkan begitu saja." Kawan lelakimu mencibir perilaku. Masa bodoh, kopi tak enak begitu jelas tak mau diterima lambungmu.

"Diam kau!" cercamu balik. Kaupicingkan mata hanya supaya terlihat garang, tetapi mau bagaimanapun usahamu, kau tak akan pernah bisa dipandang garang oleh lelaki yang kini mengusak main-main rambutmu.

"Kenapa ada darah di situ?" Dia bertanya, tunjuknya mengarah pada sejumput rambut depanmu. Lantas matanya kurang ajar menelisik kaus putih di balik kemeja yang tak kaukancingkan itu. "Wah! Bahkan di bajumu? Kau habis menolong ibu kucing melahirkan atau apa?"

"Aku tak sengaja." Kau mencebik. Menunduk dalam-dalam guna menghindar dari kejar netranya.

"Tak sengaja apa?"

"Membunuh orang ..." Sengaja kau mencugat, bertaruh dengan sisi dirimu tentang reaksinya. Pikiranmu menjawab dia akan terkejut, sementara hatimu menjawab akan setenang biasanya.

Dan begitu kalian saling pandang, kau bersorak untuk hatimu. Kawanmu hanya tersenyum simpul, tak beri reaksi apa pun selain itu dan sekecup dahi. Tak ada sepercik pun rasa kejut dari air mukanya, lebih-lebih dari matanya. Dia tulus dengan sungging bibirnya untukmu.

Kawanmu merunduk perlahan, posisikan diri untuk duduk melantai menghadapmu. Kaulihat-lihat, matanya nampak mempesona dari sudut pandangmu, membuatmu terbius sementara waktu.

Sadarmu kembali kuasai diri begitu tanganmu digenggam pelan, diberi sedikit rematan protektif hanya untuk mendamaikan gemuruh jantungmu yang riuh mendobrak rusuk. Semua terasa campur aduk di benakmu, membuatmu ingin mual sebab terlalu penuh oleh rasa muak dan sesak.

"Mau berbagi? Ya ... setidaknya kamu bisa lebih tenang, begitu," tawarnya padamu. Membuatmu semakin campur aduk tak tahu harus ungkapkan syukur bagaimana lagi memiliki teman sebaik kawan lelakimu ini. Teman satu-satunya yang kaupunya selama dua belas tahun terakhir. Yang mengerti gelap terangmu, yang pahami tiap gejolak emosimu.

Nubar Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang