o1

5K 545 53
                                    

Hongjoong tersenyum lega begitu bab terakhir dari novel yang diterjemahkannya selesai diedit. Ada rasa bangga yang hadir saat matanya melirik jumlah halaman di pojok kiri bawah. 320 halaman selama dua bulan kurang sedikit. Kecepatan standar sebenarnya, tetapi mengingat deadline yang diberikan masih seminggu lagi menambah rasa bangga di dirinya. Tanpa menunggu lebih lama Hongjoong segera mengirimkan pekerjaannya via e-mail.

Hongjoong memutuskan untuk membersihkan meja kerjanya dan ruang bersantai yang merangkap ruang kerjanya sebelum beristirahat. Sekalian capek, pikirnya. Ponselnya berdering bertepatan dengan tubuhnya yang terbaring sempurna di sofa. Tanpa melihat layarnya Hongjoong sudah tau siapa yang menelpon. Mengingat sang lawan bicara mengatur ringtone yang berbeda, bukan dirinya sendiri.

"By! Hari ini kerjaanmu selesai, kan?" Bukannya menanyakan kabar atau sekedar basa-basi justru pekerjaan yang ditanya. Selanjutnya mesti dia minta bertemu atau ditemani shopping. Hongjoong mendengus samar. Pacarnya selalu tertebak.

"Ayo ketemuan sekalian makan malem bareng. Terakhir kita ketemu kan minggu lalu, kamu lagi sibuk-sibuknya sampai aku datang aja nggak diperhatiin." ujarnya merajuk.

"Mau makan di mana?"

"Restoran dekat kantorku?"

Hongjoong mengerutkan kening. Ia ingat betapa mahalnya harga makanan di sana untuk porsi yang sedikit dengan rasa yang tidak sesuai seleranya. Mending dia ke tempat makan milik sahabat tiangnya saja. Lagian Ia kangen masakan rumahan.

Kenapa tidak meminta kekasihnya untuk memasak? Tidak, terima kasih. Hongjoong masih mau menghirup udara segar besok dan memiliki apartemen daripada menyuruhnya memasak. Memegang pisau saja bisa dihitung jari. Jadi, demi kepentingan bersama lebih baik mereka makan di luar. Lupakan fakta kalau Hongjoong sendiri bisa masak.

"Aku pingin masakan rumahan,"

Bisa didengar decakan sebal dari seberang sambungan disusul dengan gerutuan.

"Sudah kuduga. Tiap akhir bulan mesti kamu selalu makan di sana. Kalau gitu ngapain tadi nawarin milih tempat?"

Membayangkan wajah kesal pacarnya membuat Hongjoong terkekeh. Sambungan masih berlanjut sampai beberapa menit ke depan. Setelahnya penerjemah itu memilih mengistirahatkan tubuhnya yang letih.

***

Ramai menyapa telinga saat Hongjoong memasuki rumah makan yang tadi siang mereka bicarakan. Ini jam makan malam, tentu saja akan ramai. Belum lagi rumah makan milik sahabatnya ini terletak di area perkantoran. Para karyawan yang ingin makan masakan rumahan dengan harga murah, tetapi kualitas rasa terjamin selalu memunuhi meja tiap waktu makan.

D'halimun, nama rumah makan milik  Mingi dan Yunho, mengusung konsep alam yang terbagi menjadi dua area. Area indoor dengan furniture kayu mendominasi dan area outdoor dengan tikar yang bertebaran sebagai pengganti meja.

Untung tadi siang Hongjoong sempat menelpon Mingi untuk reservasi tempat favoritnya di area indoor, melihat ramainya pengunjung yang datang. Meja di sebelah dinding kaca juga dekat dengan meja makanan. Iya, ini rumah makan prasmanan.

Hongjoong sudah mengambil makanannya ditambah sepiring gorengan panas, minumnya belum diantarkan. Masih duduk manis sembari menunggu pacarnya datang. Tadi dia mengirim pesan jika terjebak macet dan menyuruhnya mengambil makan duluan. Hongjoong jelas menuruti.

Dari arah dapur Hongjoong bisa liat dua anak berlarian dengan seorang lagi yang berjalan santai di belakang mereka. Suara tawa dan saling mengejek terdengar. Hongjoong tersenyum kecil, setiap melihat anak kecil Ia selalu membayangkan kehidupan dia ke depan saat sudah berkeluarga dan memiliki anak. Mesti lucu sekali.

Lamunannya buyar saat suara jatuh terdengar. Ia menoleh mendapati satu anak yang tadi kejar-kejaran jatuh di samping mejanya. Hongjoong refleks  mengangkatnya, menepuk debu yang menempel sekaligus mengecek apakah ada bagian tubuhnya yang terluka. Setelah dirasa tidak ada, barulah dia menatap anak itu yang menatapnya balik dengan pandangan berkaca-kaca.

"Lain kali hati-hati, ya? Kalau jatuh terus luka kan sakit,"

Dalam hitungan detik setelahnya anak tersebut menangis kencang. Tangan kecilnya mengalun di leher Hongjoong dan menyembunyikan wajahnya di bahu penerjemah itu.

"HUWE AYAH!"

Hongjoong kaget. Jelas. Dia sadar kalau umurnya sudah matang untuk menjadi sosok ayah, tetapi dipanggil begitu dengan anak yang bahkan baru ditemuinya hari ini serasa asing. Meski dia tak menampik bahwa ada perasaan tergelitik saat mendengarnya.

Tapi tetap saja rasanya aneh jika dipanggil "Ayah" begitu saja.




21.01.17
Em.teex





Halo~! Aku bawa ff Joonghwa baru, heheh.

Padahal kemaren bilangnya mau buat one shoot collection, tapi malah buat book lain.

Cerita dikit, alur cerita ini udah ada dari tahun lalu. Dari jaman kelas 12 yang sibuk-sibuknya ngurus UTBK. Pas temenku bingung mau milih jurusan apa,  aku malah bingung nentuin konflik cerita. Emang aneh banget.

Terus awalnya ini bukan ff dan di cerita awal yang jadi penulis si ceweknya. Terus karna mau diubah ke ff aku rombak dikit deh.

Oya, ini mpreg ya :").  Buat yang ga nyaman sama itu bisa balik kanan bubar barisan. Terus updatenya juga suka-suka. Aku masih sibuk remed, huhuhuhu.

Makasih buat temen-temen yang udah jadi beta reader aku. Ga bisa ditag soalnya banyak. Terutama buat Gongchanidae yang udah buatin cover. Lucu kan covernya? Sungkem dulu ke dia.

Bacotnya aku :"

Jadi, gimana? Yay or nay buat ff ini??
Ayo komen~

Foirfe | JoongHwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang