Terindah di antara yang terbaik
••••• ••••• ••••• ••••• •••••
Bibir terkatup rapat bila ada orang melukai hati. Air mata masih tertahan di kedua bola mataku, menahannya supaya tak mengalir di pipi.
"Hei! Kamu anaknya yang jualan siomay di depan sekolah kan? Hahahaha!" ejek salah satu dari mereka.
Anehnya, aku tidak mau membalas mereka. Toh, jika membalas sikap mereka, mungkin saja guru-guru menyalahkanku. Aku bukanlah siswa hebat. Sedangkan, mereka terlahir dari keluarga berada.
Sepulang sekolah aku memilih duduk memojok di taman sekolah. Semilir angin menyelimuti kulit. Menatap ayah merapikan bekas bumbu tumpah di dekat wajan. Sesekali ayah memastikanku aman. Lalu, melanjutkan kembali pekerjaannya. Sore ini ayah dan aku akan pulang ke rumah. Tiba-tiba ayah memanggil.
"Nak, sini! Makan siang ... kamu belum makan kan?" teriak Ayah.
"Eh, iya, Pa."
Aku berlari kecil menghampiri motor ayah.
"Ini makan. Masih ada sisa siomay jualan tadi," ucap Ayah sembari memberikan sepiring siomay kepadaku. Aku menerimanya.
Ayah mengawasi raut wajahku. Ayah berkata,"Ada apa, Nak? Mengapa hari ini kamu terlihat sedih?"
Seketika aku kaget atas pertanyaan ayah. Dengan berat hati aku mengatakannya.
"Em, Pa ... aku diejek teman-teman kelas," lirihku.
Ayah menarik napas dalam. Lalu, menghembuskannya. Pelan.
"Nak, ayah tahu kamu berat. Tapi, ingat kamu sekolah itu untuk belajar. Bukan mendengar ejekan mereka," kata Ayah tegas.
"Apa yang harus Rian lakukan?"
"Nak, kamu cukup memaafkan saja. Memaafkan itu tidak sulit, Nak. Cobalah, Nak," ucap Ayah.
"I ... Iya, Pa. Rian harus memaafkan mereka."
Ayah berkata, "Iya, Nak. Memaafkan itu membuat kamu menjadi pribadi yang baik. Jika mereka masih saja mengejekmu, tenang. Semua akan berubah kelak. Siapa yang menang dialah yang menjadi emas."
"Rian menjadi emas di masa depan?
"Iya, Nak. Kamu itu emas kelak. Sekarang kamu sedang menanam bibit kebaikan. Kelak kamu petik," balas Ayah.
Mataku berbinar ketika ayah mengatakan hal itu. Kulihat ayah tersenyum tulus kepadaku.
"Nak, ayo pulang! Hari mulai sore," ajak Ayah kepadaku.
Esoknya. Di kelas pada saat jam istirahat.
Mereka masih menatapku menghina,tajam. Aku pun beranjak dari kursi. Kemudian, memberanikan diri datang menghampiri mereka.
Aku berkata,"Teman-teman aku sadar anak penjual siomay. Tapi, jika aku ada salah kepada kalian ... maaf. Mungkin saja membuat kalian tidak nyaman karena keberadaanku."
Mata mereka menatapku kaget.
Salah satu dari mereka berkata,"Nah, gitu dong baru berani. Kami bukannya ngejek kamu. Tapi, kamu jarang ngomong sama kami. Makanya, kami kesal."
Perkataan itu seketika membuatku merasa tidak percaya.
"Maaf ... bukannya aku tidak mau berteman dengan kalian. Aku ...."
"Udah, ah! Gak perlu ada yang dipikirkan lagi. Rian itu anak berani kok!" pekik salah satu dari mereka.
"Eh, kenalin aku Juan, di sampingku namanya Radit. Dua di belakangku Dimas dan Zefanya," Juan memberikan salam tanda bersahabat.
Aku meraih salam dari Juan. "Namaku Rian."
Aku salah tingkah. Mereka pun tertawa. Tiba-tiba Juan menarik tanganku.
"Ayo main bola di lapangan sekolah! Bosen di kelas," ajak Juan.
Dalam hati merasa bersalah karena aku salah menilai teman-teman di kelas. Tapi, aku yakin ini adalah permulaan yang baik. Masa SMP-ku akan berwarna.
'Ayah terima kasih sudah mendukungku menjadi pribadi yang berani,' batinku senang.
-Selesai-
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence, Memories Never Die
Random"Semua tempat adalah cerita. Semua orang adalah kunci cerita tersebut." ••••• Kumpulan cerita sederhana yang menarik dan beberapa quotes yang menggugah hatimu. ▪Karya original oleh Marie Albertvila