Gantungan Kunci Bintang Laut

53 9 0
                                    

Terindah di antara yang terbaik.

••••• ••••• ••••• •••••

Kali ini musim hujan. Bau pertikor menusuk hidung. Pohon oak menjulang tinggi di samping jendela kamar, ranting mengenainya. Sesekali mataku menyusuri pemandangan di luar. Sepertinya aku ingin bermain. Ah, itu hanya mimpi. Ayah dan ibu mengunci dari dalam rumah. Terkurung seorang diri di dalam rumah besar ini. Membosankan. Suara perutku terdengar menggelikan. Ya, aku lapar.

Aku ke luar kamar menuju ruang dapur. Menuruni tangga, hati-hati supaya tidak terjungkal seperti kemarin. Untunglah, tulang rusukku cukup kuat.

Ruang dapur terlihat sepi, seperti tinggal di dalam gua. Kemudian, aku membuka lemari es, hawa dingin mengenai wajah. Aku merapatkan kembali syal di leher, dingin sekali padahal musim tropis. Dua bungkus roti tawar, selai kacang merah dan satu botol susu yogult melemahkan mata. Cepat-cepat aku mengambilnya. Mengoles satu per satu roti dengan selai kacang merah.

Beberapa waktu kemudian, taraaa! Roti selai kacang merah kesukaanku telah jadi. Mengunyah dengan lahap rotinya. Lega rasanya sambil menikmati segelas susu yogult.

Aku beranjak dari kursi, berjalan pelan menuju jendela dekat rak piring. Sembari menatap hujan rintik-rintik yang turun di daun jendela. Menikmati hawa sejuk musim hujan di kota London.

Namun, senyumku memudar seketika. Musim hujan kali ini tidak mengenakkan. Ayah dan ibu pergi liburan bersama teman-teman kantornya tadi pagi. Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul delapan pagi. Tiba-tiba ada seseorang menyapa dari luar. Siapa dia? Dia mengayunkan tangan kanannya kepadaku. Ya kepadaku! Dia semakin mendekat ... mendekat. Sekarang dia berdiri tepat di luar jendela. Berhadapan.

"Halo! Kamu sendirian, yah?" tanya dia.

Wajahnya cukup asing di daerah tempat tinggalku ini. Di bawah mata kirinya ada tahi lalat. Kornea matanya bewarna biru langit. Ya, dia seorang anak laki-laki. Sepertinya, seumuran sepertiku.

"Ya, aku sendirian."

"Oh, baiklah. Kamu mau bermain bersamaku di luar?" tawarnya.

"Em ... pintu rumahku terkunci. Kamu mau membantuku ke luar? Kalau bisa," balasku.

"Bisa melalui jendela ini saja. Sepertinya tidak sulit."

"Heh? Lewat jendela ini? Ok, baiklah akan kucoba."

Aku membuka jendela dapur.

Krek.

Jendela dapur terbuka. Aku mengambil kursi di dekat meja makan, kemudian menaikkinya. Meloncat ke luar jendela, dia membantuku. Senyumnya merekah kecil.

"Terima kasih. Apa yang kita lakukan sekarang?" tanyaku.

"Bermain petak umpet?"

Dia menarik tanganku dan mengajak bermain. Awalnya, aku mengacuhkannya karena memang, malas. Namun, kurasa tidak kesepian lagi.

Matanya menatap jail kepadaku. Sesekali dia menarik daun telingaku.

"Agghh! Dasar! Sini kubalas!" omelku lalu melemparnya dengan daun-daun.

Dia tertawa lebar. Berlari kecil dan menghindar. Waktu berlalu. Kami berdua cukup lelah.

Aku memilih duduk di bawah pohon oak halaman rumah, beristirahat. Dia mengekor di belakang. Aku menengok menatapnya.

"Aku juga mau beristirahat," ucapnya.

Kami duduk bersama. Sama-sama diam tidak saling berbicara. Lalu, dia membuka percakapan. Aku melihat dia sedang mengambil sesuatu di saku kiri sweaternya.

"Sini tanganmu. Aku beri kenangan," katanya lalu mengambil tangan kananku.

"Apa ini?" Aku menatap gantungan kunci bintang laut. Lucu.

"Tanda berteman," katanya.

"T ... Terima kasih pemberiannya. Em, bolehkan aku tidur sebentar? Aku cukup lelah." Mohonku.

"Silakan," jawabnya.

Mataku mulai mengantuk. Tertidur pulas di sampingnya.

Beberapa jam kemudian, terbangun dari tidur yang cukup lama. Aku mencari dia tidak ada lagi di sampingku.

"Hey? Kamu di mana? Pulang tidak pamit!" teriak aku.

Seorang tukang pembersih menghampiriku yang kebetulan sedang membersihkan pekarangan rumah.

"Ada apa, Nak?"

"Apakah Nenek melihat seorang bocah seumuran sepertiku di sini? Ada tahi lalat di bawah mata kirinya. Pakai sweater coklat dongker."

"Sepertinya anak seumuran seperti kamu. Ya, hanya kamu di sini," kata Nenek itu membuatku bergidik ngeri.

"Baiklah, terima kasih, Nek."

Aku tidak percaya dia bukanlah anak dari tempat sini. Aku merogoh saku celana kanan. Memastikan gantungan kunci pemberiannya, aman. Ah, ternyata masih ada. Kupegang erat lalu menuju pohon oak, beristirahat lagi. Tiba-tiba ada sesuatu ganjil. Mata tertuju pada sebuah kertas di bawah pohon oak. Kemudian segera mengambilnya, membacanya.

[Hai, terima kasih sudah menjadi temanku! Jangan lupakan aku, yah? Gantungan kunci itu menyimpan rahasia. Bukalah. Kamu menemukan hal menarik di dalamnya.]

Aku membukanya pelan-pelan.

'Ternyata gantungan kunci ini bisa dibuka,' batinku.

Aku melihat sebuah gambar malaikat kecil di dalamnya.

-Selesai-

3 April 2021
• Marie Albertvila

Limerence, Memories Never DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang