"Siapa pun yang mengambil sebagian atau seluruh milik orang lain bagi kepentingan diri sendiri maka ialah orang egois yang menentang keseimbangan alam"
Perkataan tidak bersahabat itu keluar dari seorang kakek paruh baya. Berbadan besar dan tinggi, mata tajam merendahkan, rambut pendek dengan surai putih menandakan usianya yang sangat lama dan juga rambut di sekitar dagu dengan warna yang selaras rambutnya, serta alis yang menukik tajam. Arogan, mengintimidasi, dan juga aura yang kuat. Hoshi no kami. Atau dikenal sebagai Ikke Ukai.
“Ku kira seharusnya kau tahu itu Atsumu, Daimyo dari rasi bintang Vulpecula”
Atsumu berdiri dihadapan sang dewa bintang, Ukai. Menatap waspada pada objek di depannya, mengantisipasi pergerakan apa yang akan muncul. Atsumu sangat paham jika didalam hukum langit tertulis untuk tidak mencari perkara dengan para dewa. Karena mencari perkara dengan mereka berarti sama dengan mencari mati. Dan dengan kondisi seperti ini dimana ia memegang botol berisi videtur milik sang dewa seakan ia mengambil hak milik sang dewa jelas adalah kondisi yang sangat salah. Atsumu seperti pihak bersalah disini sekalipun ia tidak tahu menahu bagaimana videtur ini bisa sampai di kediaman nya. Ingin rasanya Atsumu keluar dari situasi ini dengan bendera putih di tangan tanda mengaku kalah, atau jika boleh ia ingin membentak dewa di depannya dan berkata bukan dia bajingan bersalah yang mencuri barang milik sang dewa. Tapi ia tahu betul jika ia tidak bisa keluar dari situasi ini, atau lebih tepatnya tidak boleh karena jika ia kabur maka taruhan nya adalah seluruh penjaga bintang di rasi bintang Vulpecula.
“Ya aku tahu itu, maaf, aku baru saja ingin mengembalikannya kepadamu” Atsumu menjaga ketenangan dirinya, berusaha untuk tidak terintimidasi atas ucapan Ukai sebelumnya. Langkah kakinya mendekat ke arah Ukai untuk memberikan botol di tangan nya. Lalu Botol itu diselimuti oleh cahaya tipis berwarna biru, dan hilang seketika karena Ukai telah mengambil dan mengamankan nya. Baiklah, Atsumu rasa masalah ini sudah selesai-
“Sungguh memalukan, apa kau sangat putus asa dengan keadaan rasi bintang mu Atsumu?” sudah Atsumu duga, berurusan dengan dewa bintang tidak akan semudah yang dia pikirkan. Sangat merepotkan.
“Maaf, Maaf. Kau tidak perlu berkata menyebalkan seperti itu bukan?" Atsumu mencoba megeluarkan nada bersahabatnya, ia tidak ingin situasi ini menjadi lebih buruk, sebisa mungkin Atsumu menenangkan dirinya walaupun dalam hati ia ingin menutup mulut Ukai.
“Seharusnya keputusan ku tahun lalu untuk mematikan rasi bintang Vulpecula ku sampaikan saja pada dewa langit. Kalian sangat menyedihkan" Atsumu tidak tahu apa yang dipikirkan oleh sang dewa, tapi ia tahu jika dewa di hadapan nya ini tidak mau diajak untuk berbicara baik-baik
“Kau sebaiknya diam, Ukai" Atsumu memberikan nada peringatan bagi lawan bicaranya.
“Aku memang benar bocah, tempat ini sangat menyedihkan seperti dirimu. Kau bukanlah daimyo tetap disini, kau hanyala daimyo uji coba, tidak seperti Sakusa dari rasi bintang Orion atau Kanoka dari rasi bintang Andromeda. Kau hanya dikasihani oleh Kami-sama, kau-
“Diam"
“-hanyalah jiwa yang terombang ambing diantara kebaikan dan kejahatan. Jiwa yang tidak bisa dikatakan baik sepenuhnya. Seseorang bodoh yang telah membunuh rubah penjaga makam berharga demi raja nya yang tamak, merenungi kegelisahan hati atas perbuatan mu. Kau tidak pernah menemukan jawaban atas kegelisahan hati mu Atsumu! Kau tidak pantas berada disini!”
“DIAM"
Suara kemarahan tersebut dibarengi oleh berubahnya Atsumu menjadi Kyuubi, rubah besar dengan sembilan ekor yang menyala. Seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya merah tipis, menggeram marah dengan pupil hitam nya yang berubah menjadi kecil. Ukuran tubuhnya bukan lagi pemuda dengan badan normal, melainkan rubah besar setinggi nyaris tiga meter dengan badan tiga kali lipat lebih besar dari biasanya, ditambah dengan taring dan cakarnya yang mencuat tajam. Atsumu sedang marah besar dan siap untuk bertarung. Siapapun yang melihatnya tahu jika Atsumu sudah kehilangan kesabaran nya, perkataan Ukai memang sesuatu yang sensitif bagi Atsumu, mengancam wilayah nya akan dilenyapkan, mengungkit pahitnya masa lalu, dan juga mengatakan salah satu aib nya. Tidak heran jika Atsumu ingin menikam dewa di depan nya. Siapapun jelas akan marah jika di perlakukan seperti itu, tapi jika diperhatikan lebih baik, raut wajah Atsumu tidak hanya menyimpan kemarahan, melainkan sesuatu seperti keputus asaan.
“Maju sini bocah” Ukai mendongak sombong dengan tatapan merendahkan miliknya, membuka sayapnya lebih lebar seakan ia menerima kemarahan Atsumu dengan tangan terbuka lebar.
Atsumu memacu tangan dan kaki nya untuk membuat jarak yang cukup dekat agar bisa mencakar salah satu bagian tubuh Ukai. Menargetkan tubuh bagian kiri Ukai dalam manik merah nya, membidik untuk menjadikan dada bagian kiri Ukai sebagai serangan pertamanya. Saat dirasa sudah cukup dekat untuk menerkam sang objek, Atsumu melompat ke hadapan Ukai dengan tangan kanan nya yang terbuka lebar lengkap dengan cakar tajam yang siap mengiris apapun di hadapan nya. Ukai yang melihat pergerakan Atsumu menggeserkan badan nya sedikit ke belakang, mecabut salah satu bulu sayapnya dan mengacungkan tinggi-tinggi bulu tersebut sebelum Atsumu cukup sadar jika bulu di tangan Ukai berubah menjadi pedang. Beruntung Atsumu memiliki refleks yang bagus sehingga ia melompat mundur, jika saja Atsumu tetap pada posisi sebelumnya dapat di pastikan jika pedang itu akan menembus melewati lehernya. Dewa bintang sialan ini serius rupanya untuk membunuh nya.
“Ceh, refleks yang bagus" Atsumu mengeram marah, mengacuhkan pujian yang dilontarkan oleh Ukai, ia tidak sudi menerima pujian dari lawan nya sendiri. Sekarang yang menjadi fokus utama Atsumu adalah menyelesaikan masalah dan menendang dewa bintang jauh-jauh dari tempat nya, oleh karena itu Atsumu mempersiapkan lagi dirinya untuk maju dan melancarkan serangan kepada Ukai.
Kita yang melihat pertarungan antara Atsumu dan dewa bintang di hadapan nya hanya bisa diam tak berkutik dengan segala kecemasan yang memenuhi isi kepalanya. Kita tidak paham mengapa mereka harus bertarung dan membuat kacau tempat ini. Lantai dasar dimana tempat Atsumu dan dewa bintang bertarung nyaris semuanya hancur, lantai yang retak, kayu yang berjatuhan, dan juga bekas cakaran Atsumu di dinding.
Setelah perpisahan nya dengan Atsumu dimana Atsumu melompat turun dari lantai dua untuk menhampiri sang dewa, Kita diam-diam mengamati interaksi Atsumu dengan si dewa bintang, ingin tahu apa sebetulnya yang sedang terjadi sehingga salah satu dewa menghampiri tempat ini. Awalnya Kita kira berjalan lancar sebelum tiba-tiba Atsumu berubah menjadi rubah besar. Kita pernah melihat rubah ini sebelumnya, rubah yang saat itu dia lihat dari jendela kamar Osamu. Hanya saja yang ini sedikit berbeda, mereka memang sama-sama memiliki sembilan ekor, tetapi rubah yang di hadapannya sekarang jauh lebih besar dan juga ... menyeramkan. Saat serangan pertama dilancarkan para penghuni rasi bintang segera mencari tempat untuk berlindung, tetapi berbeda dengan Kita, ia pergi menuruni tangga dan bersembunyi di balik dinding. Kita tahu jika perbuatan nya akan menimbulkan resiko seperti terkena nya hentakan sayap sang dewa atau cakaran Atsumu yang di hindari. Tapi Kita merasakan firasat tidak enak dengan semua ini.
Pertarungan antara Atsumu dan Ukai semakin sengit, Atsumu dengan taring dan cakarnya, Ukai dengan pedang nya. Banyak dari serangan Atsumu yang tidak mengenai Ukai karena sayap besar milik Ukai yang menjadi pelindung. Sedangkan Atsumu selalu nyaris diri nya tersayat oleh pedang milik Ukai. Beberapa serangan pedang Ukai mampu Atsumu tahan menggunakan cakarnya, tapi terkadang Ukai bergerak lebih cepat ketimbang Atsumu sehingga pedang itu menggores wajah atau bahu Atsumu. Bertarung lama seperti ini membuat Atsumu lelah, ia sudah muak serangan nya yang selalu dihindari oleh Ukai.
“Apa kau lelah bocah? Sebaiknya tidak jika kau tidak ingin pedang ini membelahmu" Ukai mengayunkan pedangnya sekali lagi, mengincar bagian depan Atsumu. Sedikitnya dada depan Atsumu terkena sayatan pedang Ukai, seharusnya Atsumu mundur tetapi hal yang dilakukan Atsumu selanjutnya adalah mencengkram lengan Ukai untuk menariknya mendekat hingga lengan kiri Atsumu menganyun mencakar dada hingga perut sang dewa.
“Hehe..” Atsumu tersenyum puas dengan hasil cakaran di badan Ukai, luka melintang yang mengeluarkan darah sang dewa. Atsumu rasa dia boleh ju- “Uhukk!!” di dagu nya, Atsumu merasakan air mengalir dari mulutnya. Atsumu membawa tangan nya untuk membersihkan dagu nya sebelum apa yang ia lihat bahwa darah segar lah yang ia keluarkan. Atsumu mencari tahu apa penyebabnya, dan menemukan bahwa pedang Ukai menancap dalam perutnya. Perlahan Atsumu merasakan perih di perut, darah merembes deras dari luka tusukan yang di buat oleh Ukai, jika Atsumu tebak sepertinya pedang Ukai menembus hingga punggungnya karena sekarang ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Sial, ini sakit sekali hingga membuat Atsumu bertekuk lutut.
“Jika kau berani menghadapi musuh mu dalam jarak dekat maka kau juga harus menanggung resiko serangan musuh dari jarak dekat. Pahami itu bodoh!” Ukai menendang Atsumu. Tendangan yang cukup kuat hingga Atsumu terpelanting. Ukai melangkah maju menghampiri tubuh rubah Atsumu yang sudah berlumuran darah dan terletak tidak berdaya. Mata kemarahan milik Atsumu sebelumnya berubah menjadi mata ketidak berdayaan. Atsumu sangat terpojok saat ini.
Ukai mencabut lagi salah satu bulunya untuk merubahnya menjadi pedang yang baru. “Sepertinya cukup sampai disini saja diri mu, Atsumu" Ukai mengayunkan pedangnya tinggi, mengambil ancang-ancang untuk membelah lawan nya. Sedangkan Atsumu sudaah menutup matanya, entah dirinya pingsan atau pasrah dengan keadaan yang ada.
“BERHENTI!”
Ukai menahan serangan nya, menoleh ke samping untuk menemukan seorang pemuda bersurai abu-abu cerah dengan sedikit hitam di bawahnya menatap tajam ke arahnya. Ukai mengamati pemuda yang menghentikan gerakan nya barusan, merasakan jika keberadaan jiwa pemuda tersebut sangat lemah dibandingkan dengan jiwa-jiwa yang sudah diangkut oleh Kami-sama. Menarik, ternyata ada manusia disini.
“Atsumu! Atsumu?! Ku mohon bertahan lah" Kita sangat panik sekarang, melihat Atsumu berlumuran darah dengan luka menganga di badan nya sangat menakutkan bagi Kita. Tidak pernah terbayang dalam dirinya untuk melihat Atsumu se menderita ini. Kita menempelkan dahinya pada Atsumu seakan memberi kekuatan. Sedangkan kedua tangan Kita berusaha untuk menghapus kotoran atau darah di wajah Atsumu, mengusap-usap moncong rubah Atsumu sambil terus merapalkan namanya berharap Atsumu dapat bertahan.
“Minggir, ningen” Kita menatap takut wajah sang dewa, ia merasa sangat kecil melihat seorang dewa di hadapan nya, tapi ini sudah terlambat untuk melangkah mundur. Kita tahu jika manusia sepertinya tidak perlu ikut campur urusan antar dewa seperti ini, Kita terlalu asing dan tidak memiliki hak di sini. Tapi yang Kita tahu pasti, ia benci melihat Atsumu babak belur seperti ini, ia benci jika Atsumu sekarat, ia benci jika di kehidupan ini tidak ada Atsumu lagi.
“Tidak" Kita berkata dengan pasti, enggan menggeser posisi nya yang masih merengkuh Atsumu dalam pelukan nya.
“Aku akan menghabisi seseorang yang tidak cocok untuk menjadi bintang lagi disini, jadi lebih baik kau minggir" Ukai menatap tajam Kita seakan memberi peringatan
“Kau tidak berhak untuk mengeluarkan seseorang dari bintang begitu saja! yang menentukan adalah Kami-sama! Kau tidak berhak menentukan kadar kebaikan seseorang! Hanya Kami-sama yang tahu kebaikan hati seseorang!” Kita membentak sang dewa, ia sudah tidak peduli lagi jika dirinya dalam bahaya yang terpenting sekarang baginya adalah seseorang di pelukan nya tidak boleh mati.
Ukai tersenyum miring. Tangan nya menjulur ke depan untuk meraih kerah kimono milik Kita. Kerahnya di cengkram dengan sangat kencang hingga Kita merasakan sakit di lehernya, sangat sesak, ini seperti sang dewa tidak hanya mencengkram kimononya tapi lehernya sekaligus. Kita menatap takut wajah sang dewa yang sangat dekat dengan dirinya, melihat manik tajam sang dewa yang menusuk jauh ke dalam diri nya.
“Perkataan yang bagus bocah, satu kali kesempatan dan kita lihat sebaik apa bocah yang kau lindungi ini" Ukai melepaskan cengkraman nya, melangkah mundur untuk membungkus dirinya dengan sayap besarnya dan menghilang begitu saja. Meninggalkan Kita yang bergeming di tempat, dalam kepalanya Kita memproses apa yang dimaksud dengan perkataan sang dewa barusan. Tapi semua pemikiran nya dihantam oleh rasa lega karena Atsumu masih tetap ada dalam rengkuhan nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
constellations : you
FanfictionKita Shinsuke. Remaja tangguh usia delapan belas tahun. Bersurai keperakan yang ditutup dengan sedikit surai hitam dibawahnya. Tidak begitu tinggi tetapi tidak pendek. Berbadan ideal yang lebih condong ke kurus. Pendiam tetapi cukup frontal. Remaja...