“Shin-chan cepat habiskan sarapanmu, kita akan memetik mentimun yang sudah siap panen"
Pagi ini sekitar jam setengah delapan nenek Kita sudah menenteng keranjang dan alat perkebunan lainnya. Sudah siap dengan topi petani di kepala dan juga sarung tangan putih tebal di tangan. Hari yang cerah untuk memetik hasil panen. Sepertinya hari ini akan jadi hari memanen yang sibuk mengingat di musim panas ini banyak hasil perkebunan keluarga Kita yang siap panen. Keluarga Kita sudah menjadi penghasil perkebunan dan pertanian sejak lama. Entah sejak kapan tapi hasil ladang ini adalah hasil utama pemasukan keluarga Kita. Dengan ladang yang luas berhektar-hektar dan juga keahlian keluarga Kita untuk mengolahnya sukses menjadi salah satu hasil pertanian yang diacungi jempol bagi warga sekitar. Banyak yang membeli hasil ladang keluarganya untuk diperjualkan keluar kota. Atau Nenek Kita yang terkadang mengirimnya keluar kota dengan bantuan kerabatnya.
“Ah, tunggu aku nek"
Kita yang melihat neneknya sudah siap untuk pergi ke ladang langsung saja meninggalkan sarapannya. Meninggalkan sarapannya yang masih tersisa banyak tetapi Kita tidak peduli karena ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk segera berkebun. Salah satu aktivitas kesukaan Kita disamping melihat bintang dan mencari konstelasi nya. Berkebun membuatnya bersyukur dengan segala hal yang ada di daratan ini. Memuji bagaimana bibit yang hanya sebesar ujung kelingking dapat tumbuh tinggi dan menghasilkan keberkahan bagi umat manusia. Menyadari jika di dunia ini bukan hanya manusia saja yang berkembang tetapi tumbuhan di ladangnya pun juga tumbuh hingga bermanfaat bagi orang banyak.
“Shin-chan mengurus di sebelah sana dan nenek yang di sebelah sini"
“Baik, nek" Kita menuju ke sisi lain ladang untuk memanen mentimun yang sudah siap panen. Betul apa kata neneknya, semua benih mentimun yang Kita tanam sebulan yang lalu sudah berbuah banyak. Kita harus bekerja giat untuk memetiknya satu persatu.
Tuk
“Aduh"
Kita terantuk oleh sesuatu. Nyaris saja keseimbangan tubuhnya hilang akibat kakinya yang bertabrakan dengan sesuatu beruntung ia mempunyai kontrol tubuh yang baik sehingga badannya tidak perlu mencium tanah. Ia melihat kebelakang benda apa yang barusan saja nyaris ia injak.
“Eh? Rubah?”
Ternyata yang menghalangi jalan Kita dari kegiatan berkebunnya adalah seekor rubah merah kecil. Rubah itu mengusap kecil kepalanya dan terlihat kesakitan. Ah sepertinya kaki Kita dan kepala rubah mungil itu tidak sengaja terantuk. Kita yang melihatnya sedikit merasa bersalah pasti sakit sekali mengingat betapa kerasnya suara terantuknya tadi. Kita menunduk daan memposisikan satu tangannya dilutut dan satu tangan lainnya di kepala rubah tersebut.
“Maaf, ya rubah kecil" Kita mengusap pelan kepala rubah itu sambil tersenyum. Berharap rasa sakit yang ditimbulkan oleh kakinya segera mereda.
Rubah itu menutup mata dan mengusalkan kepalanya di tangan Kita. Sepertinya rubah itu menikmati usapan halus yang Kita berikan terlihat dari rubha itu yang semakin mendekatkan kepalanya dengan tangan Kita. Ah lucu sekali rubah ini Kita pikir.
“Ung, ung" saat rubah itu sadar dari usapan halus Kita tiba tiba rubah itu menggerakkan kedua tangannya yang mungil di hadapan wajah Kita. Seakan-akan ia berkata kepada Kita jika ia menginginkan sesuatu
“Eh? Ada apa? Apa kau menginginkan sesuatu?” Kita terheran dengan gerakan rubah kecil tersebut. Rubah itu terus saja berusaha menggapai sesuatu di hadapan wajah Kita yang Kita tidak paham apa yang rubah itu inginkan. Kita mencoba untuk mendekatkan dirinya lagi pada rubah itu. Mencoba mencari tahu apa yang sebetulnya rubah itu inginkan. Hingga saat rubah itu sudah cukup dekat dengan apa yang ia incar, rubah itu pun langsung menarik paksa kalung yang Kita gunakan dan lari begitu saja
KAMU SEDANG MEMBACA
constellations : you
FanfictionKita Shinsuke. Remaja tangguh usia delapan belas tahun. Bersurai keperakan yang ditutup dengan sedikit surai hitam dibawahnya. Tidak begitu tinggi tetapi tidak pendek. Berbadan ideal yang lebih condong ke kurus. Pendiam tetapi cukup frontal. Remaja...