12. Adiva & Aqila

112 9 4
                                    

Tak ada yang perlu disesali dari sebuah pertemuan karena sesungguhnya perpisahan akan selalu menjadi sebuah pilihan. Kita cukup mengenang tanpa melibatkan perasaan karena takdir kebersamaan kita hanya sebatas persimpangan jalan.

***

"Astaghfirullahal'adzim," sebut Azzam berulang kali dalam hati.

Pria itu terduduk pasrah di kursi kerja miliknya. Pertemuan tak terduga selama 8 tahun berpisah membuat dirinya tidak siap sama sekali. Kehadiran Aqila yang secara tiba-tiba itu bagai belati tajam yang menguliti semua kenangan bersama perempuan itu. Azzam tak pernah menyangka disaat kebahagiaan baru saja direguknya bersama sang istri ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit dari kisah masa lalunya.

Glek glek glek... Azzam meneguk dengan cepat air mineral botol di atas mejanya hingga menyisakan separuh. Membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering kerontang. Lalu ia segera membuka layar pipih di hadapannya. Menyibukkan diri agar melupakan semua kenangan bersama Aqila yang mulai berputar ulang di otaknya tanpa dimintanya. Selagi menunggu progres laptopnya menyala Azzam mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana lalu membuka kunci layar. Foto mesra dirinya bersama Adiva terpampang di sana. Ia belai wajah Adiva seraya mengingat waktu yang telah mereka lalui bersama. Azzam hanya memastikan jika Adiva lah yang kini bertahta di hatinya. Bukan Aqila, perempuan tak berperasaan yang tega meninggalkan dirinya di hari pernikahan mereka.

Jemari Azzam mulai membuka aplikasi WhatsApp lalu menuliskan sebaris kalimat manis untuk sang istri tercinta. Tak lama sebuah pesan balasan diterimanya.

"Miss you to My Hubby."

Seketika senyuman tipis tersamar di wajah tampannya seraya meletakkan ponsel di atas meja. Ia mulai membuka folder, lalu mengklik salah satu file penting, memilih pekerjaan mana yang akan ia dahulukan. Saking seriusnya, Azzam tak menyadari jika waktu sudah berlalu begitu saja hingga suara ketuk pintu mengusik indera pendengarannya. Azzam menilik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan hampir waktu dzuhur. Lalu dengan lantang ia mempersilakan masuk seseorang yang sedang mengetuk pintu ruangannya.

"Silahkan masuk!" Ujar Azzam tanpa mengalihkan fokus pada layar laptop di hadapannya. Azzam benar-benar serius karena ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan pulang lebih awal bersama Adiva. Tadi Adiva sudah mengatakan jika kelasnya akan berakhir sekitar jam 11 siang tapi perempuan itu juga pamit ingin berkumpul sebentar bersama teman-temannya sebelum pulang. Jadi Azzam memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya hingga Adiva datang.

Srekk... Suara decit kaki kursi di seberang meja masih tak berhasil mengalihkan perhatian Azzam dari laptopnya.

"Maaf, permisi! Apa boleh saya bicara sebentar?" Sapa perempuan itu dengan ramah, perempuan yang tadi pagi sempat mengusik hatinya.

Bagai bom molotov, jantung Azzam seketika berdebum keras saat melihat siapa yang tengah duduk di hadapannya. Perempuan yang tadi pagi sempat membuat hatinya kacau balau dan sekarang perempuan itu dengan seenaknya tersenyum manis padanya.

Jemari Azzam yang sedari tadi menari dengan lincah di atas keyboard seketika terhenti. Pria itu membeku di tempat. Tampak Azzam menghela napas panjang lalu menahannya sejenak di dada sebelum memberikan jawaban.

"Silahkan Bu Aqila, apa yang bisa saya bantu?" Azzam mengulas sebuah senyuman. Ekspresi wajar yang biasa Azzam tunjukkan pada rekan sesama dosen.

Aqila tersenyum seraya menelisik penampilan fisik Azzam yang semakin terlihat tampan dan berkharisma. Seperti dulu, laki-laki itu selalu berhasil membuatnya terpesona. Ternyata 8 tahun berpisah tak membuat perasaan Aqila pada laki-laki itu berubah. Aqila masih mencintai Azzam dengan porsi yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Bahkan pagi tadi Aqila seolah memiliki semangat baru saat mengetahui jika dekan fakultas PAI adalah Azzam. Yang artinya ia akan bertemu Azzam setiap hari.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang