Sepuluh tahun silam untuk pertama kalinya aku bertemu dengan gadis sederhana bernama Adiva Dania Khanza. Gadis itu nggak cantik dan juga nggak jelek. Dia standar sesuai dengan tinggi badannya yang hanya mencapai dadaku saja. Anggun dan lemah lembut nggak ada sama sekali dalam dirinya. Dia tomboy, ceplas-ceplos jika bicara, dan nggak peka. Tapi entah mengapa dan dengan alasan apa hatiku terpedaya olehnya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu masa MOS atau Masa Orientasi Siswa di SMA A. Dahlan. Parahnya dia nggak pernah sadar sama sekali jika dia telah menjadi pusat duniaku sejak saat itu. Satu setengah tahun aku memperhatikannya diam-diam. Hingga pada akhirnya aku memiliki tekad untuk menunjukkan jati diriku, bahwa akulah yang selama ini sering meletakkan secarik puisi dan bunga di dalam laci mejanya.
Nasibku sungguh miris karena ternyata dia nggak pernah mengenalku yang saat itu menjabat sebagai ketua rubrik majalah sekolah. Padahal kala itu aku adalah salah satu siswa populer di sekolah. Tapi nggak jadi masalah karena sejak saat itu aku menjadi lebih dekat dengannya. Kita memutuskan menjalin persahabatan tanpa pernah sekalipun aku menunjukkan perasaan cintaku padanya. Hingga pada saat di ambang perpisahan sekolah aku mengutarakan isi hatiku. Aku benar-benar syok, ternyata cintaku nggak bertepuk sebelah tangan. Dia juga menyimpan rasa untukku. Akhirnya kami resmi pacaran hari itu juga.
Lalu kita menjalani LDR selama hampir 2 tahun lamanya. Cinta kami terbentang jarak antara Jombang dan Jakarta. Hingga dia mengingkari janji cinta kita berdua. Dia terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya. Hatiku hancur berkeping-keping mendapati dia yang telah menjadi milik laki-laki lain. Aku marah, kecewa, dan tak berdaya kala itu. Aku nggak peduli sudah berapa banyak air mata yang ku tumpahkan hanya demi mengobati lukaku sendiri. Tapi bodohnya aku, karena nggak sedetikpun mampu membencinya.
Namun waktu menuntunku pada sebuah takdir yang sangat indah. Kami akhirnya menikah setelah berbagai cobaan yang datang. Setelah menikah pun aku kembali ke kebiasaanku dulu, diam-diam memperhatikannya. Menyimpan berbagai ekspresi wajahnya yang lucu dan menggemaskan. Mulai dari tertawa, tersenyum, merajuk, menangis, malu-malu, sedih, bahkan ketika marah sekalipun. Aku telah merekam semua ekspresi wajahnya dengan cukup kuat dalam ingatan untuk aku abadikan hingga tutup usiaku nanti. Dia adalah istri dan ibu dari anak-anakku. Dia adalah bidadari surgaku.
Dari sekian banyak ekspresi aku paling menyukai ekspresi wajahnya ketika merajuk. Jadi nggak heran jika aku sengaja buat ulah agar dia merajuk, tapi dengan syarat jangan sampai jatah malamku dicabut. Bisa kalang kabut aku jika itu sampai terjadi. Tapi aku punya cara jitu untuk meluluhkan hatinya kembali. Selain dengan kata-kata manis yang entah sejak kapan aku jadi ahlinya di bidang tersebut, aku juga biasa menggodanya hingga kami berakhir di atas ranjang dengan terengah. Dan ingat, jatahku bisa bertambah berkali-kali lipat. Harap maklum jika aku selalu horny. Aku laki-laki dewasa yang baru mengenal arti cinta yang sesungguhnya. Aku bucin pada istriku yang biasa-biasa saja. Namun di mataku dia adalah perempuan luar biasa dalam segala hal. Dia memang nggak sempurna tapi cintaku padanya adalah kesempurnaan yang tak mampu dibantah oleh siapapun.
Saat ini saja dia telah mengandung anak kedua kami karena kenakalanku. Padahal Abizar anak pertama kami baru saja genap berusia 9 bulan. Yah ... kalian pasti bisa membayangkan bagaimana aku saat bersamanya. Aku nggak pernah mampu menahan gejolak dalam diriku. Dia memang nggak cantik dan juga nggak seksi. Tapi aku takhluk dan bertekuk lutut di hadapannya. Nggak pernah sekalipun aku melirik atau menatap perempuan lain yang tentu saja banyak yang jauh lebih cantik darinya. Bagiku dia adalah rumah. Tempat aku pulang dan berteduh.
Aku mencintaimu, Adiva. Sangat mencintai kamu, Adiva Dania Khanza.
Aldebaran Malik.
***
"Ya Allah Sayang bikin kaget aja kamu!" pekik Aldebaran yang baru saja ke luar dari kamar mandi dan mendapati Adiva berdiri tepat di depannya.
"Gitu ya. Di belakangku kamu nulis kek gini!" Adiva menunjukkan selembar kertas yang ditulis Aldebaran seminggu yang lalu.
"Loh kok bisa di kamu Sayang?!" Wajah Aldebaran yang awalnya segar seketika berubah pucat pasi saat mengenali tulisan curahan hatinya beberapa waktu lalu saat berada di kantor. Aldebaran tak sengaja mengungkapkan isi hatinya dalam sebuah coretan panjang.
"Duh jangan salah paham dong Sayang. Lagian itu isinya bagus kan? Nggak ada apa-apanya juga," bujuk Aldebaran sembari mencoba merebut kertas tersebut dari tangan Adiva yang jelas-jelas terlihat marah.
Adiva yang memang sensitif karena hormon kehamilannya lalu berbalik badan hendak ke luar dari kamar. Namun Aldebaran yang hanya mengenakan handuk di tubuhnya seketika mengambil langkah cepat. Jangan sampai Adiva ke luar dan mengadukan tulisan tangannya kepada kedua orang tua mereka.
"Nggak boleh ke luar sebelum aku selesai bicara dulu!" Aldebaran membawa kunci kamar dalam genggaman tangannya. "Sini kertas itu biar aku robek aja," pinta Aldebaran yang tentu saja langsung ditolak oleh Adiva. Dengan kesal Adiva menyembunyikan kertas tersebut di balik tubuhnya.
"Duh ... Sini biar aku bacain pelan-pelan biar kamu bisa cerna baik-baik tulisan itu. Please Sayangku ... Sini!" Aldebaran memohon sambil melangkah mendekat dengan pelan.
Aldebaran terus memaku kedua mata Adiva sembari terus melangkah. Jangan sampai ia membuat kesalahan fatal yang membuat sang istri sakit hati hanya karena perbuatan isengnya. Lantas Aldebaran menghela napas panjang sembari memegang kedua bahu Adiva yang terlihat bergerak narik turun akibat napasnya yang memburu karena pengaruh emosi.
Adiva membalas tatapan Aldebaran dengan tajam. Kali ini Adiva benar-benar menunjukkan ekspresi marah yang membuat Aldebaran ketakutan setengah mati. Ini adalah kali pertama Aldebaran melihat kilat amarah di dalam bola mata cantik di hadapannya. Bola mata cantik yang selama ini menenggelamkan jiwanya hingga tak berdaya. Di sanalah Aldebaran merasakan jatuh cinta, lalu dipatahkan hatinya. Namun di sana pula ia menemukan cintanya yang telah kembali.
"Ya Allah Sayang aku kok bisa sampai lupa ya nggak nulis di kertas itu klo mata indah kamu inilah yang membuat aku gila selama ini!"
"Abang!!!"
Namun pekikan Adiva seketika lenyap dalam bungkaman bibir Aldebaran.
***
Luka darimu adalah jatuh cinta paling indah
Rajukmu selalu menjadi candu yang merindu setiap waktu.
Dan senyumanmu menjadi penakluk egoku.
Kini aku dan kamu menjadi sebuah bingkai cerita apik yang mengharu. Maka biarlah diri kita menyatu, kini, nanti, dan untuk selamanya.---------------- END ------------------
Terima kasih untuk semua pembaca yang telah mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Semoga cerita ini berkesan dan mampu memberikan pesan yang bermanfaat untuk kalian semua. I Love You All. Sampai bertemu kembali dalam cerita yang lain.???
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...