11. Pricy

2.1K 253 65
                                    

jgn berekspektasi terlalu tinggi, masih banyak serpihan teka-teki
dan aku sama sekali ga mau ada plot hole, dalam bentuk sekecil apapun itu.

♠♠♠

empati dicuri semua,
tanpa tahu siapa yang sesungguhnya terluka,
pelaku apalagi korban sebatas dusta,
mereka berperan dalam keduanya.

♠♠♠

"Stop! Saya bukan bagian dari mereka!"

"Kamu ratunya."

"Enggak!"

"Bagaimana jika kami buktikan sekarang?"

"Cey, lo gak papa?"

Ceysa tersentak sedikit, menatap wajah yang dihiasi ekspresi penuh akan rasa cemas dari Alden. Kakinya sontak bergerak mundur, seiring tangan laki-laki itu hendak menyentuh pipinya yang terkena tamparan Cia barusan.

"Ya ampun, perempuan tadi itu siapa? Udah maki-maki gak jelas, pake nampar Mbak. Astaghfirullah." Ningsih mengelus dada. "Sakit banget, ya? Ayo, duduk dulu, saya ambilin minum."

"Terima kasih, Bu."

Ningsih mengangguk. Setelah memastikan Ceysa duduk sempurna di salah satu sofa, dia menghampiri anak sang majikan yang masih berdiri di dekat pintu utama.

Wanita seumuran Rosa itu berbisik, "Saya tadi denger semua. Dia pacarnya Mas Alden?"

Alden mengangguk.

"Saya ambilin minum dulu untuk temannya Mas, ya?"

Setelah memberi yang anggukan lagi dan Ningsih bergerak menjauh, Alden membuang napas kasar mengingat betapa ringan tangan Cia menampar Ceysa. Cewek sialan.

Alden berjalan mendekati Ceysa, duduk di samping gadis yang pandangannya lurus ke depan, tanpa ada senyuman maupun ekspresi lain. Namun, Alden bisa melihat ada bercak kemerahan di kornea mata Ceysa. Gadis itu hendak menangis, tapi segera mengerjap cepat, menggagalkan air mata terjun bebas.

"Maafin gue, Cey, gue cuma-"

"Lo ngedeket, gue yang disalahin."

"Maaf."

Ceysa tersenyum tipis. "Lo hampir kiss my lips, gue yang dimaki."

"I'm so sorry."

"Lo ngatain dia anjing, gue yang ditampar."

Alden membisu. Sebelumnya, Ceysa tidak pernah demikian, maka dari itu dia sedikit bingung bagaimana cara menyikapi.

Melirik Alden sekilas, Ceysa menghela napas. Sebetulnya, dia yang memiliki lebih banyak kesalahan. Andai saja tadi dia tadi memilih pergi ke tempat lain, tentu Cia tidak merasakan sakit hati.

"Pada dasarnya, dalam posisi gini pihak cewek yang selalu disalahin. Dan kalau lo gak mau gue dimaki, dihina atau ditampar kayak tadi ... ayo buat jarak lebih lebar."

Mata Alden melotot sempurna. "Itu bukan solusi, Cey," ucapnya.

"Then?"

"Gue putusin Cia."

"Lo gila?!" pekik Ceysa, menolehkan kepala sepenuhnya menghadap Alden.

Alden tertawa sumbang, mengode Ningsih agar berdiam di tempat, menunda pergerakan untuk menyerahkan segelas air mineral.

Menatap Ceysa, pemuda itu berkata, "I'm not dumb enough, Ceysa de Luca. Buat apa gue mertahanin hubungan sama dia kalau gue sayangnya ke lo?" Dia menyeringai. "Gue pacaran sama dia cuma karena permintaan lo."

HOLLOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang