12. She Stole It

2.5K 267 29
                                    

Semakin dalam rasa,
semakin dalam pula tercipta luka.
—Hollow

♠♠♠

Bel berdentang di SMA Dharma pada pukul 06.45 WIB. Namun, pukul enam tepat ini, Alden masih betah duduk di depan piano dan menekan tuts-tuts begitu kasar. Sangat tidak biasanya.

So shameless, Bro. How could you do it in that cafe? The hell.

Mengikuti style salah satu pianist kesukaan—Richard Clayderman—yang dijuluki Prince of Romance oleh Nancy Reagan alias Ibu Negara Amerika Serikat di zaman itu, Alden selalu menekan tuts begitu lembut, halus, dan menyentuh hati sang pendengar. Akan tetapi, lagu The Nights karya Avicii kini dimainkan sangat kasar. Bukti kekesalan di dalam diri.

"Damn it," desis Alden seraya menekan asal beberapa tuts kasar.

Setelah menekan sebuah icon dan rekaman berdurasi dua menit kurang sedetik tersimpan, atensi Alden dicuri oleh tepukan tangan dari belakangnya.

"Bagus, ya, pagi-pagi mainin piano sambil emosi." Rosa menyilangkan kedua tangan di dada. "Ntar kalau rusak, beli sendiri!" kesalnya.

"Dasar ABG labil!"

Alden memasangkan kolong berwarna kuning di hasduk. Membuang napas kasar, dia meraih mengambil sepasang sepatu seraya berkata, "Ya udah, maaf. Mas mau berangkat, nanti makan di kantin aja."

"Sarapan dulu kali, udah dimasakin susah-susah sampe kecipratan minyak, ini malah mau makan masakannya orang!" oceh Rosa.

"Wajarlah, Bun. Mas mau cepet-cepet berangkat soalnya ditunggu pacar di depan. Ntar kalau lama pacarnya ngambek, deh!"

Gerakan menyimpul tali sepatu terhenti. Alden menoleh, menatap Airys—adik pertamanya—diikuti kerutan yang semakin lama terlihat jelas di dahi.

"Heran, deh. Punya Mas satu buah doang gak manly banget," ujar Airys, membenarkan kolong merah yang hendak melorot. "Cewek tuh dijemput, bukan malah jemput Mas."

"Pacarnya Mas di depan?" tanya Rosa.

Airys mengangguk cepat. "Dari setengah jam lalu malah!" ucapnya.

"Namanya Ceysa bukan?"

What? Wait a damn minute.

Airys menggidikkan bahu, tetapi setelahnya gadis yang duduk di bangku kelas sembilan SMP itu segera berlari keluar kamar bernuansa kelabu diiringi perkataan, "Mbak tanyain dulu, ya, Bun. Tungguin!"

"Katanya Ceysa temen doang," sindir Rosa, duduk di kursi belajar milik Alden, wanita itu memakukan tatapan pada sosok anak sulung yang bergerak merapikan rambut hanya dengan tangan kanannya.

"Maunya dijadiin pacar, tapi dia gak mau."

"Kenapa gak mau?"

Alden mengangkat bahu. "Padahal dia keliatan sayang banget ke Mas," tuturnya.

"Kepedean banget."

Tak memberi jawaban, Alden menatap pantulan dirinya di cermin. Segala ucapan dari Ceysa agar dia senantiasa menjaga, memerhatikan, dan memprioritaskan Cia kembali terngiang di telinga.

Lelaki itu menghela napas kasar, bergerak menyalami tangan ibunya bertepatan dengan Airys tergopoh-gopoh memasuki kamarnya.

"Namanya Adelicia Abraham, Bun!" Airys memegangi kedua lutut, mengatur napas mengingat jarak antara kamar Alden dan teras tidak sedekat itu. "Tadi pas Mbak nanya nama dia Ceysa atau bukan, malah marah-marah. Mana Mbak dikira selingkuhannya Mas Alden. Idih, siapa coba yang mau sama makhluk gituan? Najisun, ew!"

HOLLOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang