Langit - 12

18 3 0
                                    

Kini aku berada di sebuah kedai roti bakar, ini kali pertama aku datang ke tempat ini. Dulu saat aku dan Lanno ke Bandung, kami sempat ingin mampir ke sini, tapi tidak jadi, entah karena apa, aku lupa. Kalau tentang Lanno tidak akan lupa, karena melupakannya tidak semudah tadi aku menamparnya. Ku tatap lagi tangan kananku, masih terasa nyeri dan sedikit memerah. Sungguh, bukan hanya kamu yang merasakan sakitnya, tanganku juga kini sangat sakit, pun hatiku juga, Lan. 

Aku menghembuskan napas perlahan, kejadian tadi kembali terngiang. Saat aku menamparnya, saat mata seluruh orang di kantin tertuju pada kami, saat aku berlari keluar dari kantin dengan tangis, saat aku berlari di jalanan tanpa mementingkan keadaan, saat aku menangis di halte sendirian, saat aku masuk ke kedai ini dan menjadi pusat perhatian semua orang, bahkan hingga kini aku sedang duduk masih ada beberapa pasang mata yang melihat ke arahku. Entah karena aku yang basah kuyup dan berantakan, atau memang mereka senang melihat orang lain dengan tatapan tak terdefinisikan.

Masih ada tangisan, aku masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Bahkan setelah menangis cukup lama di halte, rasanya aku masih punya banyak stok air mata yang siap mengalir begitu saja. Ingin rasanya aku segera hilang dari bumi, mengungsi ke mars, atau saturnus, atau kemana pun, tempat yang sunyi, tanpa Lanno dan siapa pun. 

"Roti bakar keju dan milkshake coklat." Ucap seorang pelayan yang tiba-tiba menaruh nampan di atas mejaku.

Aku bingung, perasaanku aku belum memesan apapun. Dengan segera aku menyeka air mataku.

"Maaf, Mas. Saya nggak pesan roti sama milkshake, kayaknya salah meja." Ucapku masih dengan suara yang sedikit sengau karena sudah terlalu lama menangis.

"Ini menu paling cocok untuk orang yang sedang sedih, silahkan dimakan, Mba." Jawab pelayan itu mengabaikan ucapanku.

"Tapi, saya nggak pesan ini, Mas."

"Barangkali setelah mencobanya, nanti Mba justru mau nambah." 

"Tapi saya nggak lapar, Mas."

"Dicoba dulu aja, Mba." Jawab Pelayan itu dengan senyuman.

Lalu pelayan itu pergi begitu saja. Aneh sekali. Aku meraih ponselku dan mengaktifkannya, berniat menghubungi Mama. Ternyata Mama sudah menghubungiku sedari tadi, ada 5 panggilan tak terjawab dari Mama. Segera kutelepon balik Mama.

"Kakak dimana?" Tanya mama saat teleponnya sudah terhubung.

"Lagi makan dulu, Ma." Aku berusaha terdengar baik-baik saja.

"Oh gitu, udah ketemu Lanno?" Tanya Mama.

"Udah kok, Ma.." Jawabku.

"Asik, rindunya terbayar dong? Pasti lagi senyum-senyum nih sama Lanno." Goda Mama.

Seandainya Mama tahu, justru aku sedang menahan tangis di sini.

"Nanti kakak telepon lagi ya, Ma." Aku berusaha biasa saja.

"Hmm nggak mau diganggu yaa lagi melepas rindu." Goda Mama lagi.

"Mama bisa aja..." Ucapku terpaksa.

"Hahaha, yaudah, nanti pulangnya hati-hati, yaa.. Bilang sama Jimmy, nggak usah ngebut, santai aja yang penting aman.."

"Iya, Maa..." 

Lalu kami sama-sama mematikan sambungan teleponnya. Aku kembali mematikan daya ponselku, yang penting aku sudah mengabari Mama. 

Aku menatap langit yang terlihat dari jendela yang berada tepat di sebelahku. Rintik hujan masih turun dengan perlahan.

"Ratapanmu mengiringi

Kepergian kali ini

Sungguh ku benci tinggalkan

LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang