0.7

549 82 8
                                    

Plan pernah jatuh cinta. Tak hanya satu kali, ia merasakannya berkali-kali. Meski yang berbalas hanya hitungan jari, tapi tak pernah ada sesal di hatinya sama sekali. Mencintai adalah hak tiap individu. Urusan bersambut atau tidak, bukan dia sendiri yang menentukan. Untuk itu Plan selalu menikmati perasaannya ketika jatuh pada seseorang, tanpa memikirkan lebih jauh apa yang akan diterimanya kemudian.

Dan di suatu Minggu pagi, Plan terbangun dengan perasaan yang tak pernah ia duga. Degup di dada kian menyerang tatkala menatap lekat sebuah objek di depan kedua matanya.
Plan menelan ludahnya gugup, teringat kejadian semalam yang nyaris membuatnya kabur demi selamatkan diri. Tapi tentu saja hal itu tak terjadi, karena si pemilik lengan kekar dengan senyum rupawan itu sigap menangkap tubuhnya, membawanya seolah tanpa beban, dan mengakhirinya dengan banyak cumbuan.

Plan tak lagi perjaka, jujur saja. Tapi bercinta dengan pria sama sekali tak pernah ada dalam benaknya. Dan sial sekali karena Mean berhasil 'mendapatkan dirinya' semalam tadi.

"Morning, babe."

Plan terperanjat, kelopak matanya berkedip cepat lantaran mendapati Mean terbangun lengkap dengan suara sengau khasnya.

Seksi, tapi sama sekali tak membuat Plan ereksi.

Lalu seketika ia ingat kalau semalam Mean mampu menaklukannya dengan sekali hentak. Ah, kalau dia tidak ereksi, lantas kenapa ia cepat sekali ejakulasi?

"M-morning," Plan berdeham. Ia alihkan tatapannya ke arah lain. Wajah Mean di pagi hari sungguh tak baik untuk perasaannya saat ini.

Mean tersenyum, "Tidurmu nyenyak, babe?"

Plan mengangguk, dengan sedikit meringis. Ada denyut tak nyaman di bagian bawah tubuhnya yang mendadak menyerang tanpa ancang-ancang.

"Masih sakit ya?" tanya Mean, yang tanpa diduga Plan tangannya turun ke bawah pinggangnya, mengusap lembut bagian sensitif yang ia hajar tanpa ampun semalam. "Maaf, nanti habis mandi saya obatin ya? Atau kamu mau kita ke dokter aja?"

"Oh ngga usah!" sahut Plan tegas sembari menggeleng cepat, "Serius Kak, saya ngga apa-apa."

Tidak, Plan bohong. Tentu saja ia merasa apa-apa. Bagaimana bisa ia baik-baik saja setelah anusnya ditumbuk torpedo Mean yang sangat- ah, Plan bergidik ngeri mengingatnya.

"Plan?"

"U-um?"

Mean menarik dagu Plan, demi meraup bibir pemuda kurus itu tanpa permisi, "Makasih. You were so great last night."

"A-aahh. Iya."

Sesungguhnya Plan kehabisan kata-kata. Ia tak tau apa yang sebaiknya ia ucapkan setelah melakukan seks dengan pria. Kalau di pengalamannya sebelum ini, Plan tak pernah mengucapkan apapun. Ia hanya akan membantu gadisnya membersihkan tempat tidur, sebelum akhirnya ia pulang ke rumah. Tak ada untaian kata mesra sebagai salam perpisahan.

"Saya sayang kamu," Mean mengusap rambut Plan lembut, "Jangan tinggalin saya ya?"

Plan termangu. Bagaimana bisa ia meninggalkan pria itu setelah berjanji akan menjadikan Mean suaminya kelak nanti?

"Ngga akan," Plan menjawab tegas. "Saya ngga akan ninggalin kamu."

Plan pernah jatuh cinta. Ia akan menyadari dan mengakuinya dalam keadaan sadar. Tapi jika hanya karena tatapan Mean yang menghanyutkan, rayuan maut yang membuat banyak debar, juga hubungan intim yang panas dan melelahkan, Plan bisa yakini bahwa yang dirasakannya bukanlah cinta.

Melainkan hanya hawa napsu yang datang sesaat, sebelum lenyap termakan waktu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marry Me, Phiravich! (2Wish) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang