0.8

526 88 18
                                    

"Babe"

Plan mendengus sebal. Sejujurnya ia tak suka ketika Mean memanggilnya seperti itu. Tapi di sisi lain, ia merasa percaya diri bahwa Mean sungguhan menaruh hati dan siapa tau ia bersedia untuk lekas dinikahi.

"Ya?" secepat kilat Plan berbalik badan dengan raut wajah berbeda. Sebisa mungkin ia harus bersikap manis pada Mean saat ini. "Kenapa sayang?"

Panggilan 'sayang' itu tadinya tak pernah ada dalam rencana Plan. Tapi ia pikir, jika tak memanggil Mean yang kini sudah jadi kekasihnya dengan mesra, Mean tak akan memercayainya. Maka apa saja Plan lakukan agar Mean tak menaruh curiga sedikitpun.

"Dua hari ke depan saya bakal sibuk, mungkin ngga ada waktu buat ketemu kamu. Maaf ya?" Mean mengusap pipi Plan dengan jemarinya, yang langsung diraih Plan dan dikecupnya pelan.

"Ngga apa-apa. Saya maklumin kok."

"Bakal kangen banget sama kamu, marshmallow," Mean mendekap Plan sebelum kecupi tengkuk pemuda itu.

"Ya ampun," Plan mendorong dada Mean, menghentikan aksi kecupnya yang mulai brutal, "Cuma dua hari, kan? Jangan berlebihan deh."

Mean mendengus, "Kalau saya ngga bisa tidur karena ngga ada kamu, gimana?"

"Kak, sebelum ketemu saya kamu bisa tidur dengan nyenyak kok," jemari Plan menuju kerah kemeja Mean, merapikan dasi prianya dengan telaten. "Kamu ngga lihat jam berapa sekarang? Nanti kamu telat ke fashion show-nya lho."

"Masih ada sepuluh menit," Mean melirik jam dinding sembari berdecak. "Cium dulu."

Plan merotasikan bola matanya, "Saya ngga mau ya kalo nanti suruh benerin tuxedo kamu lagi."

"Kalau gitu tangan kamu jangan gerak-gerak. Diem aja."

"Tap-"

Plan mengerjapkan mata, karena Mean hanya berikan sebuah kecupan kecil di bibirnya.

"Udah."

"Huh? Udah?"

Mean mengangguk, "Kamu mau lagi?"

Satu kecupan kecil kembali mendarat. Tapi ketika Mean hendak menarik mundur kepalanya, Plan justru menangkup wajah Mean. Entah apa yang membuatnya meraup bibir itu dengan napsu memburu. Plan tidak mengerti kenapa kecupan kecil itu membuatnya sedikit kecewa. Yang ada dalam pikirannya justru ia ingin sesuatu yang lebih. Ia ingin Mean mengerti dan memberikan apa yang ia harapkan.

Mean itu, kenapa tidak peka sekali?

Plan akhirnya tersenyum puas setelah beberapa menit lidahnya bergerilya di dalam mulut Mean. Ia merapikan jas Mean sebelum akhirnya melepas sang kekasih pergi.

"Saya sayang kamu."

Ucapan Plan dibalas Mean dengan pelukan singkat sebelum akhirnya supermodel itu membuka pintu apartemennya dan berlalu. Yang tentunya tanpa Plan tau, Mean menyeringai tajam ketika sudah berada di balik pintu.

...

"Plan, mau nitip kopi ngga?" War, yang hari ini menjadi partner Plan menepuk bahu pemuda itu.
Yang ditepuk bahunya cuma mengangguk pelan, lalu kembali fokus pada ponselnya yang hening tiada dering.

Mean rupanya tak mengada-ada soal kesibukannya. Dan sudah dua hari ini tak ada telepon atau pesan sama sekali dari si supermodel tampan. Hal itu entah kenapa membuat Plan uring-uringan. Ia dilanda gelisah tiada habis. Beberapa menit sekali ia mengecek ponselnya, berharap ada satu pesan yang masuk. Tapi nyatanya, apa yang ditunggunya tak muncul selama dua hari.

"Nih kopi kamu," War menyerahkan segelas caramel frappe pada Plan. "Kusut amat sih itu muka? Untung hasil bidikanmu ngga ada yang meleset dan klien kita suka."

Marry Me, Phiravich! (2Wish) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang