"Kamu pikir saya akan sudi menerima kamu?" Kepala Mean menggeleng, seraya menghempaskan tangan Plan yang menggenggamnya.
"Jangan ganggu hidup saya lagi. Atau-"
"Saya tau kamu pun sebenernya ada rasa kan sama saya?" putus Plan, suaranya lantang namun berusaha tetap tenang, "Kak, akui aja kalau kamu juga sayang sama saya, kamu juga cinta sama saya. Bukan malah meminta saya jauh dari kamu."
Benar. Apa yang dituduhkan Plan padanya tidaklah salah. Mean tidak menampik jika memang perasaan itu masih ada hingga kini dalam hatinya. Tapi apakah itu masih penting lagi sekarang? Lagipula untuk apa mempertahankan perasaan yang akhirnya cuma untuk dipermainkan? Apa yang akan didapatkannya nanti selain sakit teramat dalam?
"Jangan sok tau. Saya ngga suka sama kamu!"
Plan menggeleng tak percaya, "Nggak. Pasti kamu punya perasaan juga sama saya. Bilang sama saya kalau semua yang udah kita laluin bareng itu sangat berarti buat kamu, Kak."
Mean mendecih, "Semua yang udah terjadi sama sekali ngga ada artinya buat saya. Apa yang pernah saya lakukan hanya karena ingin membalas ide licik kamu saja, Plan. Menurutmu saya akan diam saja dan membiarkan harga diri saya dipermainkan oleh manusia rendahan macam kamu?!"
"Kak Mean-"
"Apa kamu udah ngga punya urat malu? Setelah kamu berniat jahat dengan memanfaatkan saya demi sumpah konyol kamu itu, sekarang kamu berani bilang suka sama saya? Dan kamu ingin saya percaya?"
Plan menggigit bibir bawahnya, "Maafkan saya atas hal itu. Tapi yang perlu kamu pahami, sekarang saya sedang ngga main-main dengan perasaan saya. Apa yang saya ungkapkan ke kamu murni dari hati saya yang terdalam. Oke, awalnya saya hanya ingin kamu suka ke saya dan bersedia saya nikahi. Tapi tanpa disangka, hati saya terjebak di sana Kak. Saya ngga bisa melepas kamu. Saya telanjur nyaman dan terbiasa sama kamu. Makanya saya-"
"Untuk apa kamu mengatakan semua itu, Plan? Kamu kira dengan mendengar itu saya akan berubah pikiran?"
"Saya cuma ingin kamu tau kalau saya benaran suka sama kamu. Saya jatuh cinta sama kamu, Kak Mean!"
Mean tertegun sesaat. Kalau saja ia tak membangun dinding hatinya sekuat baja, pasti saat ini ia sudah luluh dan jatuh ke dalam dekapan Plan. Tapi Mean bersikeras tak ingin memercayai apapun yang lelaki kecil itu katakan. Tekadnya untuk membuang Plan jauh-jauh dari hidupnya sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat.
Sekalipun ada sepercik rasa yang teramat sakit ketika memutuskannya, tapi Mean coba abai. Ia memilih untuk mengesampingkan rasa sayang yang tersisa dalam hatinya.Plan tak boleh tau betapa ia pernah sangat mendamba. Plan tak boleh tau bahwa ia pun merasa sesak ketika putuskan untuk pergi.
Mean memejamkan mata sembari hela napas dalam. Di hadapannya Plan masih setia menatapnya lekat-lekat.
"Sudah cukup main-mainnya. Dan jangan pernah kamu ganggu hidup saya lagi."
"Tapi saya-"
Ucapan Plan terputus karena Mean keburu melengos dan pergi begitu saja dari hadapannya. Dan di detik itu Plan merasa harapan untuk menikahi Mean pupus sudah. Apa yang sempat ia yakini akan berhasil, terbukti gagal seratus persen. Mean benar-benar tak bisa lagi diraihnya. Ia memilih untuk lari dan menjauh. Mengabaikan hati Plan yang menjerit ingin dirinya tetap tinggal.
Tapi siapa Plan bisa mengatur perasaan orang lain? Dia hanya manusia biasa, yang tak memiliki kuasa apapun.
...
One year later...
Di sebuah kafe tak jauh dari pusat kota Bangkok, Plan terduduk lesu sembari menatap jalanan dari balik dinding kaca. Napasnya dihela berkali-kali hingga terdengar lelah. Sesaat matanya melirik ponsel di atas meja yang tak kunjung mengeluarkan bunyi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me, Phiravich! (2Wish) ✔
FanfictionKetika Plan kehilangan tasnya di bandara, ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan menikahi siapapun yang menemukan tas miliknya. Lantas bagaimana jika yang menemukan adalah sosok yang paling ia segani setengah mati? This is 2Wish! AU MeanxP...