"Yacht."
"Hum?"
"Gimana rasanya dicium sama Title dulu?"
Yacht tersedak iced latte-nya ketika pertanyaan aneh itu meluncur bebas dari mulut Plan. Hey, ayolah. Yacht tau persis bagaimana Plan, dia tidak akan sepeduli dan sepenasaran ini dengan masalah pribadi orang lain. Terlebih lagi, Plan tau kalau hubungan Yacht dan Title sudah kandas beberapa bulan lalu. Lantas apa gunanya pertanyaan itu diajukan?
Tapi beberapa sekon kemudian Yacht menyadari satu hal. Pikirannya langsung tertuju pada seseorang yang belakangan selalu bersama Plan, dan membuat Plan hampir selalu mengecek ponsel dan senyum-senyum sendirian. Meski tergolong cuek, tapi Yacht tidak sebodoh itu untuk menyadari perubahan sikap Plan selama sebulan terakhir.
Mean Phiravich, si supermodel itu.
Ting! Bohlam kuning di atas kepala Yacht seketika muncul.
"Kamu nanyain hal itu, jangan-jangan karena-"
Tak perlu mendengar kalimat selanjutnya, Plan sudah terlebih dulu menjawab dengan anggukkan pelan.
Dan sontak saja hal itu membuat Yacht terperangah."Plan, seriusan?! Kalian udah sejauh itu?"
Plan menghela napas lesu. Tiramissu di depannya kini tak lagi membuatnya berselera. Padahal setengah jam lalu ia mengeluh kelaparan sehabis melakukan pemotretan dengan beberapa model. Tapi kini pikirannya kembali melayang pada kejadian dua hari lalu. Di mana untuk pertama kalinya, ia merasakan keanehan pada tubuhnya sendiri. Plan tidak mengerti kenapa harus merasa terangsang akibat sentuhan intim dari sesamanya?
Apakah itu normal? Atau sebaliknya?
Bahkan Plan berani mengakui kalau ia tak merasakan hal serupa ketika ia bersama kekasihnya dulu.
.
Two days ago..
"Kamu ngga apa-apa?"
Pertanyaan bodoh. Jelas saja Plan merasa apa-apa. Apa ia harus merasa baik-baik saja setelah bibirnya dijamah secara tidak keperi-Plan-nan macam tadi?
Itu ciuman pertama Plan, dengan seorang pria. Dan pria itu adalah seorang supermodel terkenal. Salah satu pria tertampan dan banyak digandrungi wanita seantero jagad.
Bagaimana Plan merasa tidak apa-apa?Plan meneguk ludahnya yang sudah bercampur dengan milik Mean. Sial. Ia tidak memiliki kesempatan untuk menghindar karena pria itu memeluknya begitu erat. Bahkan ketika bibir itu turun ke lehernya, Plan seolah tak memiliki energi untuk melawan. Dan betapa bodohnya karena mendapat seringaian usil dari Mean yang mendengar desahan kecil lolos tanpa sengaja dari mulutnya.
Ah. Malu sekali!
"Y-ya." Plan menunduk, berusaha menyembunyikan wajah semerah tomatnya. Tapi Mean justru meraih dagunya dan kembali meraup bibir tanpa permisi. Dan sekali lagi Plan hanya bisa pasrah ketika lidah panjang itu bergerilya di dalam mulutnya. Menggoda dengan begitu lihai hingga berhasil membuat desahannya kembali terdengar.
Mean sialan!
"K-kak. Cukup."
Plan akhirnya berani menarik kepalanya di saat Mean berikan jeda. Si supermodel mengernyitkan dahi bingung.
"Kenapa?"
"S-saya. Ehm," Plan tidak tau harus memberi alasan apa karena yang dipikirannya saat ini hanya ingin terlepas dari pelukan Mean dan menyuruh pria itu agar segera pulang.
Mean menyeringai, matanya mengedip penuh goda, "Kenapa? Mau dilanjut dengan yang lebih intim?"
"Ngga! Bukan!" Plan menggeleng, ia bahkan sadar kalau telapak tangannya tadi memukul lengan Mean keras-keras. "I-itu. Kalau soal itu, saya belum siap. Lagipula, kita kan belum resmi pacaran. Kan?"
"Jadi harus resmi dulu baru saya boleh-" mata Mean tertuju pada bibir Plan lalu turun ke bagian bawah. Membuat fotografer muda itu kembali meneguk ludah.
Entah kenapa Plan seketika ingin membatalkan rencananya untuk menikahi Mean kalau begini akhirnya. Ia tak pernah menyangka kalau dominasi Mean sebegini kuatnya. Awalnya ia pikir bahwa Mean tak akan semudah itu luluh dan percaya padanya. Ia pikir proses pendekatan ini akan membutuhkan waktu cukup lama. Dan selagi menunggu, Plan bisa mempersiapkan diri untuk benar-benar menjadikan supermodel ternama itu sebagai suaminya.
"Plan."
"Y-ya?"
"Kamu benaran suka sama saya, kan?"
Plan tertegun. Kalau beberapa waktu lalu ia tak pernah ragu untuk menyatakan rasa, kali ini ia merasa sangat berbeda. Apa yang tengah merasuki pikirannya, Plan sama sekali tak paham. Ingin rasanya Plan mengakui segalanya, tapi tentu saja ia tak bisa berhenti seenaknya dan melanggar sumpahnya sendiri kan?
"Iya. Saya suka sama kamu. Sayang sama kamu, Kak."
Jawaban Plan membuat Mean mengulas senyum senang. Dan Plan tak melawan ketika bibirnya kembali diserang.
...
"Wah, ada kemajuan nih kayaknya," celetuk Tonnam begitu melihat foto Mean dan Plan terpajang di atas meja kerja Mean. "Jadian belum?"
Mean menggeleng, "Belum. Mungkin sebentar lagi."
"Kamu nungguin apa sih, Mean? Kalau udah bisa membuka hati, ya terima saja perasaannya. Lagipula kalau saya lihat, dia tulus sama kamu."
"Tulus?" Mean mendengus. Ia lempar asal jas hitamnya di atas sofa lalu menghampiri Tonnam yang duduk di mejanya. "Saya baru tau kalau memanfaatkan seseorang demi kepentingannya sendiri itu dinamakan tulus."
Tonnam mengernyitkan dahi, tak mengerti sama sekali. "Maksudnya gimana, Mean?"
Mean hela napas pendek. Ia sedikit menimang apakah perlu menceritakan hal ini pada Tonnam atau tidak. Tapi ketika ia sadar bahwa tak ada orang lain yang memahaminya seperti Tonnam, maka ia putuskan untuk menjawab tanpa pikir panjang.
"Plan ngga benar-benar serius sama saya, Ton."
To be continued...
Singkat tapi yang penting apdet lah yaaa wkwk
Biar panjang juga chapternyaaaa 😁Btw besok jan lupa pantengin Mean on the floor yaa 2wishers 💙💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me, Phiravich! (2Wish) ✔
Fiksi PenggemarKetika Plan kehilangan tasnya di bandara, ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan menikahi siapapun yang menemukan tas miliknya. Lantas bagaimana jika yang menemukan adalah sosok yang paling ia segani setengah mati? This is 2Wish! AU MeanxP...