0.12

814 95 13
                                    

"Nomor teleponnya Mean?" Ulang Jane untuk memastikan ia tidak salah dengar.

Plan mengangguk, "Ada yang perlu saya selesaikan sama dia. Tapi selama ini dia ngilang ngga tau ke mana. Saya kehilangan kontak hampir satu tahun ini. Plis Jane, kasih saya nomor telepon Mean. Ya?"

Jane masih terlihat bingung, tapi dia bukan tipikal yang ingin tau urusan orang lain. Maka ia berikan kartu nama Mean pada Plan. Ia sudah cukup memahami reaksi Plan saat mendengar nama Mean disebut. Seperti ada yang tak biasa. Nampaknya bukan sekadar masalah kerja.

"Buat kamu aja. Kamu yang lebih membutuhkan ini."

Plan menerima kartu nama itu dengan senang hati, "Kamu baik banget. Makasih banyak!"

"Sama-sama Plan. Umm, udah mulai malem nih," Jane menoleh ke arah luar. "Kayaknya saya harus pulang sekarang deh."

Dahi Plan mengernyit. Kenapa kesannya buru-buru sekali? Apa Jane merasa tersinggung karena ia justru lebih tertarik bertanya soal Mean di saat kencan buta mereka?

"Jane, kamu ngga apa-apa kan?

"Loh, kenapa saya harus ada apa-apa?"

"Maaf, kayaknya saya ngerusak mood kamu. Padahal harusnya hari ini kita bisa ngabisin waktu lebih lama."

Dengan santainya Jane terkekeh. Nampak tak ada beban dari gurat wajahnya.

"Saya baik-baik aja Plan. Justru saya bakal lebih tersinggung kalau kamu terus nahan saya padahal hati kamu ngga menginginkan demikian."

Plan tertegun. Apa Jane bisa membaca isi kepalanya?

"Kalo kamu butuh temen ngobrol, tinggal chat aja. Saya siap dengerin kamu."

"Jane.."

"Ngga usah terharu begitu ah. Santai aja," Jane beranjak dari duduknya. "Makasih buat hari ini ya Plan. See you later."

Plan tersenyum, lambaian tangan Jane ia balas dengan kelegaan menyeruak dalam dada. Meski kencan ini akhirnya tak berhasil, tapi ia yakin tak akan meninggalkan sesal sedikitpun. Justru sebaliknya, Plan harus lebih banyak bersyukur.

Mata bulat Plan menatap kartu nama Mean  pemberian Jane. Ia menghela napas dalam.
Tak ada pilihan selain menghubungi Mean secepat mungkin. Karena semakin ia menundanya, semakin hilang kesempatan untuk bertemu lelaki yang dicintainya lagi.

Dan nada sambung itu membuat degup kencang berkali-kali di dada Plan. Ada ketakutan terselip, meski tak dipungkiri rasanya begitu antusias. Kalau setelah ini ia berhasil bicara lagi dengan Mean, Plan janji tak akan pernah melepaskan pria itu lagi. Plan tak akan pernah menyia-nyiakan Meannya lagi.

Sumpah yang diucapkannya harus tetap ia tepati. Tapi tentu saja dengan rasa yang tak main-main. Ia akan menikahi Mean dan bukan sekadar formalitas belaka. Tapi ia sungguh-sungguh akan menghabiskan sisa hidupnya bersama lelaki itu.

Itu janji Plan.

"Halo. Siapa ini?"

Plan terhenyak. Detak jantungnya seakan berhenti selama beberapa detik. Hingga akhirnya ia tersadar ketika telinganya terusik akibat panggilan yang sama berulang kali.

Plan tersenyum.

Suara sengau itu akhirnya bisa ia dengar lagi.

"Kak Mean.."

Tapi setelah itu bukan balasan suara yang didapat Plan. Melainkan nada panggilan yang terputus tanpa aba-aba.

...

"Udah siap belum?"

"Yap!"

"Kita jalan sekarang?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Marry Me, Phiravich! (2Wish) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang