"Assalamualaikum cantik."Sangga terkekeh geli ketika mendengar suara bundanya, "walaikumsalam bunda."
Bunda menjelaskan semalam dia tak bisa menelpon Sangga, katanya ada operasi dan setelah operasi bunda ketiduran karena paginya juga harus kerja lagi.
"Gak apa-apa kok bunda, bunda jangan capek-capek yah, jangan lupa istirahat."
"Pasti dong, bunda harus sehat biar bisa lihat anak cantik bunda wisuda."
"Bunda, boleh minta uang? Uang jajan Sangga habis, tadi pagi cuma sisa susu satu sendok di dalam kulkas, indomie juga udah habis."
"Kamu belum makan nasi?" suara khawatir terdengar kentara dari ujung sana.
Sangga menggeleng pelan, "belum bunda, cuma minum susu aja tadi pagi, gak enak bunda, tawar," adu gadis itu.
"Maaf yah cantik, bunda cuma bisa ngirimnya malam nanti, bentar lagi bunda ada operasi lagi atau kamu mau jemput ke rumah sakit? Bunda titip ke Mbak Ayu atau ... jika kamu mau, coba pinjam uang ke ayah, nanti bilang besok di ganti bunda."
Ada nada kecewa dari sebrang sana. Sangga paham dia selalu bisa memaklumi sibuknya bunda mencari uang.
Gadis itu sadar, menjadi orang tau tunggal bukanlah perkara mudah, disaat bersamaan bunda harus menggunakan tangannya untuk bertempur dalam permainan dunia dan merangkul Sangga agar tak tertembak peluru dunia.
Apalagi biaya sekolah Sangga mahal, Sangga menyesal memilih sekolah swasta padahal nilainya bisa untuk sekolah negri.
Jika bundanya saja bisa survive dengan keadaan, lalu mengapa Sangga tidak? Mereka harus saling merangkul, saling menguatkan bukan malah saling memberatkan.
Sangga kehilangan minat untuk ikut berkumpul dengan teman-temannya yang sedang menjadi tim sorak untuk pertandingan futsal, Sangga hanya memperhatikan dari jauh.
Sangga harus menghemat tenaganya untuk berjalan pulang, tidak ada uang jajan sepeserpun yang tersisa dalam kantongnya. Tidak ada uang untuk ongkos pulang.
"Hai bantat," Sangga langungsung menggeser duduknya, memberikan jarak antara dia dan Naka. Bukankah Garel tak suka jika Sangga dekat-dekat dengan teman-temannya, apalagi Naka.
Lalu Garel pikir, Sangga suka ketika malihatnya selalu nempel-nempel dengan si bule.
"Kok lo geser sih?"
"bau," jawab Sangga asal.
"Hendphone gue rusak deh kayanya," ucap Naka sambil membolak-balikan phonselnya yang bewarna biru metalic, "tadi pas gue dengerin musik gak ada suaranya, spikernya rusak kali yah?"
Sangga menggeleng bingung, "kalau rusak bawah ke konter aja, gue gak paham."
"Belum pasti juga sih rusaknya."
Naka melanjutkan ucapannya, "cuba telpon phonsel gue dong, kalau bunyi berarti gak rusak."Sangga yang tak sadar sedang dibodoh-bodohi Naka hanya mengikuti semua ucapan laki-laki itu.
"Bunyi kok, berarti gak rusak, berarti tadi volume musiknya aja kurang kencang," Sangga langsung hebo ketika mendengar nada dering laki-laki itu berbunyi.
"Makasih yah, jangan lupa nomor gue disimpan."
Butuh waktu beberapa menit untuk mencernah semuanya, mata belonya menatap Sangga dengan tatapan penuh permusuhan, "jadi lo ngerjain gue?"
"Kalau gue minta baik-baik pasti lo gak mau ngasih. Makasih yah bantat, ucul banget sih lo. Jadi pengen bawah pulang deh, "
ucapnya, sambil bersiap untuk pergi, Naka belum siap diamuk oleh gadis bermata belo itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Tipu-Tipu
Novela JuvenilDunia terlalu baik untuk gadis naif seperti Sanggani Arum. hingga titik dimana dia sadar kata cinta dan sayang hanya sebuah kata tanpa makna yang pada akhirnya membuat pulang menjadi asing.