Sebagai anak muda yang realistis, ada beberapa hal yang tidak akan pernah muncul dalam wishlist, impian atau khayalan Rylie. Dia juga tidak pernah memikirkannya karena tahu pasti kalau hal semacam itu tidak akan pernah terjadi. Bukan karena dia low self-esteem, insecure atau semacamnya, akan tetapi lebih kepada dirinya mungkin terlalu serius hingga tidak mungkin hal sekonyol itu akan terjadi dalam hidupnya. Tiga hal itu antara lain:
1. Diantar cowok populer ke UKS.
2. Diantar dengan digendong ala-ala pengantin sepanjang koridor sekolah oleh cowok populer yang ternyata kapten tim basket.
Nomor dua ini hanya dipikirkan saja sudah mengerikan. Dia tidak bisa membayangkan ada tangan cowok yang menelusup di bawah pahanya. Tidak bisa merancang ekspresi seperti apa yang harus dipasang kala lengan cowok semacam itu menyangga kepalanya. Lalu kalau digendong model bride to be begitu maka dia harus membuang muka untuk menatap jalanan di depannya, menyembunyikan wajahnya di dada cowok itu atau memilih menatap dagu cowok itu? Kalau dia memilih menatap dagu maka dia harus menutup mata atau membuka mata lebar-lebar?
Dia juga tidak ingin ingin berhipotesis soal rasa malu yang muncul kala cowok itu membawanya sepanjang jalan sambil diiringi tatapan orang-orang. Ah, tidak, tidak, ini mimpi buruk.
3. Diantar dengan digendong ala-ala pengantin sepanjang koridor sekolah oleh cowok populer yang ternyata kapten tim basket karena kepalanya benjol dan mimisan setelah tertimpuk bola basket.
Lalu sebelum dia sempat memikirkan kemungkinan nomor empat, dia sudah mendapatkan tiga hal mustahil yang tidak pernah ada dalam khayalan paling liar sekalipun. Dia digendong untuk diantar ke UKS oleh Ivar, kapten tim basket sekolah yang ganteng dan populer. Lengkap dengan gaya gendong pengantin dan wajah ganteng yang bisa dinikmati sepuasnya—jika tidak malu. Bedanya Rylie memilih menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu jika wajahnya yang babak belur kini ditatap Ivar. Selain itu, dia juga takut mendadak megap-megap dan kehabisan napas kalau berlama-lama menatap wajah pemuda itu. Sejujurnya dia masih belum bisa mencerna apa pun yang terjadi sebelumnya hingga bisa berakhir di gendongan pemuda itu.
"Tolong, kamu buka pintunya!" pinta Ivar.
"Oh, i—iya." Kali ini suara Adel yang terdengar.
Dari percakapan mereka dan aroma obat yang samar-samar mengambang di udara membuatnya bisa menyimpulkan kalau mereka sudah sampai di UKS.
"Aku bisa jalan sendiri," cicit Rylie.
"Gimana kamu bisa jalan kalau tanganmu nutup mata begitu?" sahut Ivar cepat.
"Kamu turunkan aku biar aku bisa buka mata," tawarnya.
"Telat!"
"Apa?" Rylie langsung menurunkan telapak tangan yang sejak tadi menutupi wajahnya.
"Kita sudah sampai di dalam." Ivar kini mengulum senyuman dan mengedikkan bahu seolah menunjukkan kalau tidak ada yang bisa dilakukan Rylie selain pasrah di gendongan saja.
Rylie mendengus. "Aku malu jadi turunin saja!"
"Kalau kamu malu, kamu bisa tutup lagi mukamu!"
"Please!"
"Enggak ada yang lihat jadi tidak perlu malu, temanmu juga sudah pergi. Jadi turunkan tanganmu!" bisik Ivar di dekat telinga Rylie. Bujukannya terdengar lembut, akan tetapi Rylie masih terlalu malu untuk memaparkan wajah bonyoknya pada dunia sekaligus ditatap oleh Ivar sekarang.
"Kenapa dia?" potong sebuah suara sebelum Rylie sempat memberikan jawaban. Suara yang dikenali Rylie sebagai dokter Hira, paramedis yang bertugas di UKS sekolahnya.
"Ketimpuk bola basket, Bu," sahut Ivar sambil pelan-pelan menurunkan Rylie ke atas brankar.
"Pingsan?"
"Enggak, cuma katanya dia malu."
"Ya, enggak perlu dijelasin!" desis Rylie setelah benar-benar menurunkan tangannya dan memeletot menatap wajah pemuda itu. Meski dia tidak bisa berlama-lama menatap wajah pemuda itu karena jantungnya bisa langsung copot. Rylie akhirnya memilih untuk tetap berbaring saja.
"Parah juga ya ternyata," ucap dokter Hira sambil mengamati wajah Rylie.
"Hidung saya enggak patah kan, Dok?" tanya Rylie sambil mengusap hidungnya yang masih terasa perih dan pengar.
"Enggak separah itu. Kalau sampai patah maka minta Ivar buat tanggung jawab!" sahut wanita itu sambil terkekeh pelan.
"Dok, saya keluar sebentar ya. Mau ganti seragam," kata Ivar tiba-tiba.
"Iya."
"Kamu enggak apa-apa ditinggal sendirian, kan?"
Rylie hanya mengibaskan tangan untuk memberikan kode kalau dia tidak masalah ditinggal sendirian. Lagi pula, sejak tadi dia lebih ingin sendiri ketimbang ditemani Ivar. Berada di dekat pemuda itu membuatnya seperti membuat otaknya mendadak gagal berpikir dan terus saja membuatnya salah tingkah. Jadi rasanya lega saat akhirnya pintu UKS terdengar menutup dan dirinya hanya berdua saja di sini dengan dokter Hira.
"Nah, kita bersihkan dulu lukanya baru diobati ya!"
Rylie mengangguk dan pasrah saja kala wanita itu menutulkan kapas berbau alkohol yang dingin ke dekat lubang hidungnya. Meski sejujurnya dia malu karena terlihat dengan wajah seperti ini, akan tetapi dia tidak punya pilihan lain.
"Kamu bisa berbaring sambil dipegangi kantong esnya, biar benjolnya agak kempes!" ucap wanita itu setelah selesai membersihkan luka dan mengoleskan obat di wajah Rylie.
"Iya. Terima kasih, Dok."
Wanita itu tersenyum lalu menepuk lengan Rylie. "Kamu istirahat dulu saja!"
"Iya."
Dokter Hira langsung pergi sambil mendorong meja berisi peralatan dan obat-obatan keluar dari ruangan. Sementara itu, Rylie memilih berbaring sambil memegangi kantong es yang bertengger di atas keningnya dan berharap agar benjolan di keningnya segera hilang. Matanya menatap langit-langit sementara pikirannya menerawang. Satu lagi list yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi dalam hidupnya, menghabiskan waktu di UKS sampai jam sekolah berakhir dengan kepala. Lalu list selanjutnya muncul, pulang dengan wajah berantakan dan ditertawakan oleh orang. Rylie menggigit bibir lalu menutup matanya rapat-rapat lalu menggerakkan kakinya hingga memukuli permukaan brankar. Ugghhh, membayangkan semua ini sudah mengerikan. Kenapa bola basket itu salah landing hingga ke wajahnya?
"Aduududuh!" keluhnya saat gerakan liar yang tadi dilakukannya malah membuat kantong es di atas keningnya bergeser dan membuatnya benjolan menyebalkan itu jadi lebih sakit.
Namun, Rylie berhenti bergerak kala kantong es di atas keningnya mendadak terangkat. Saat membuka mata, dia menemukan Ivar yang lagi-lagi tersenyum padanya.
"Sini kupegangin kantong es-nya!" ucap pemuda itu.
"Aku bisa sendiri," ucap Rylie ketus.
"Aku percaya kok, tapi aku mau bantu," katanya bersikeras.
"Tapi—"
"Ini kayaknya perlu diganti es batunya." Ivar seperti bergumam sendiri sambil memgambil kantong es lalu membawanya.
Rylie tidak bisa mengatakan apa pun untuk melawan atau menentang pemuda itu. Dia juga tidak bisa menahan Ivar yang kini telah bergerak menjauh dengan kantong es di tangan. Mungkin pemuda itu akan bersikeras untuk terus mengompres wajahnya. Lalu pemuda itu akan merekam wajah babak belurnya di dalam ingatan. Uggh, ini mengerikan dan tidak boleh terjadi. Dia harus melarikan diri sekarang juga kalau tidak ingin wajahnya jadi aib dan konsumsi gosip cowok-cowok di sekolah.
Setelah membulatkan tekad, Rylie beranjak bangun. Dia baru saja hendak menurunkan kaki ke lantai kala Ivar sudah berdiri di dekat tirai. Kelopak mata pemuda itu melebar sementara ekspresi kebingungan terpampang di wajahnya.
"Aku sudah bawa kantong es-nya, kamu mau ke mana?" tanya Ivar sambil mengangkat kantong di tangannya.
Rylie hanya bisa mendengus dan menggigit bibir. Hilang sudah kesempatannya untuk melarikan diri. Satu lagi list yang tidak seharusnya ada hari ini, kapten tim basket sekolah akan mengompres keningnya yang benjol. Lembaran sejarah kelam dalam hidupnya baru terbuka sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SweetTalk
Teen FictionTidak ada satupun yang tahu kalau Rylie menjadi admin SweetTalk, akun instagram yang menanggapi curhatan dan memberikan saran. Namun, semua masalah dimulai ketika seorang siswa terjun dari atap sekolah setelah curhat pada Rylie di akun SweetTalk. Ry...